Ken Arok Itu Bukan Pemberontak

Ribut Achwandi
Ilustrasi: Candi Singhasari

Seiring konsep tata negara kerajaan-kerajaan Kuno di Nusantara, Kerajaan Kediri yang telah melewati 9 raja mulai melemah. Dan dengan sendirinya, tampuk kepemimpinan dan kekuasaan harus dialihkan. Tak pelak, proses regenerasi kekuasaan melalui dharmayudha mesti dilangsungkan.

Ken Arok yang pada masa itu menjadi pemimpin di kerajaan bagian dari kerajaan Tumapel, melaksanakan dharmanya untuk melangsungkan ranayajnya. Hingga akhirnya, ia pun menerima titah sebagai raja Tumapel. Menggantikan Tunggul Ametung sebagai raja utama Tumapel. Melanjutkan etape kekuasaan menuju pada strata yang lebih tinggi.

Konsep ini berbeda dengan apa yang selama ini disebarkan dalam berbagai pelajaran sejarah peradaban nusantara. Umumnya, orang berpandangan bahwa yang dilakukan Ken Arok adalah semacam tindakan unsupator (perebutan kekuasaan). Tetapi, konsep unsupator itu rupanya dibantah oleh K.R.T. Manu J Widyaseputra.

Menurutnya, unsupator adalah konsep tata negara yang tidak bercermin dari patron yang sudah ada di Nusantara sejak ribuan tahun silam. Pengalihan kekuasaan di Nusantara sama sekali tidak demikian. Apabila dalam unsupator berpotensi memutus mata rantai kekuasaan, sebaliknya dalam konsep peralihan kekuasaan di Nusantara justru tidak memutus mata rantai itu. Akan tetapi, meregenerasi kekuasaan.

Romo Manu (sapaan akrab filolog Sanskerta dan Jawa Kuno Universitas Gadjah Mada itu) mengungkapkan, Ken Arok bukanlah orang asing yang datang ke Tumapel. Tetapi, Ken Arok adalah bagian dari kerajaan Tumapel. Yang dilakukan Ken Arok bukan pula merebut kekuasaan dari tangan Rakian Tunggul Ametung. Akan tetapi, ia melakukan perang sebagai dharma untuk meregenerasi kekuasaan dengan tujuan agar derajat kerajaan menjadi naik kelas.

Dengan demikian, ada proses kesinambungan di antara raja-raja dan antara satu kerajaan dengan kerajaan lain. “Kita tidak bisa mengatakan setelah Kadiri selesai, kemudian Singhasari sebagai sesuatu yang baru. Tidak demikian,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Romo Manu menyebutkan, di dalam proses regenerasi tersebut Ken Arok berupaya menaikkan status kekuasaan. Dari yang semula berwatak kekuasaan manusia menjadi kekuasaan buta atau yaksa (makhluk manusia setengah dewa). Tidak hanya itu, proses peningkatan strata kekuasaan ini terus berjalan hingga akhirnya mencapai pada puncaknya, kekuasaan menjadi berwatak Dewa Yajnya, yaitu kekuasaan yang dilandasi oleh kesadaran tinggi akan kedudukan kekuasaan itu sendiri sebagai kehadiran sekaligus menjalankan tugas-tugas kedewaan.

Meski begitu, dalam mencapai tujuan tersebut, menurut Prof. Manu, tidak satu pun kerajaan lama yang dihancurkan. Hanya beralih kekuasaan dan berpindah pusatnya.

Diakui pula oleh Prof. Manu, dalam proses regenerasi atau yang kemudian disebut ranayajnya itu, terjadi perang (yudha). Akan tetapi, peperangan itu bukan untuk kepentingan politik praktis. Bukan untuk mengalahkan atau menyingkirkan kekuasaan lama. Justru, untuk menemukan bentuk yang lebih baik dari kekuasaan.

“Dulu, semua kerajaan di Nusantara ini menganut sistem tata negara yang demikian. Mereka memahami fase-fase perkembangan kerajaan yang disebut bhawacakra. Di dalamnya, ada tiga fase. Yaitu, Upati (masa lahir), Setiti (masa kehidupannya), dan Pralina (masa regenerasi). Tanpa dituntut dan disuruh-suruh pun semua akan menjalankan masa-masa itu dengan damai. Tidak ada kericuhan di antara para raja. Bahkan tidak ada aksi bunuh-membunuh di antara sesama raja,” tukasnya.

Oleh sebab itu, apa yang dewasa ini kadung menyebar dan diyakini sebagai kebenaran tentang perilaku Ken Arok, menurutnya, hanya apa yang ditampakkan. Segala yang dimunculkan dalam peristiwa Ken Arok hanya di wilayah kulitnya. Padahal, menurutnya, yang dilakukan Ken Arok adalah menjalankan dharmayudha, bukan kuthayudha.

“Inilah yang perlu kita mengerti. Bahwa ada peristiwa yang namanya Upati, Setiti, Pralina itu perlu kita pahami betul. Jangan sampai situasi itu kita artikan seperti negara-negara lain, yang di situ orang berebut kekuasan. Sebetulnya kita tidak pernah ada seperti itu,” ungkapnya.

Negeri Nusantara, pada hakikatnya telah memiliki sistem tata negaranya sendiri. Namun, ketika dicampuri oleh sistem ketatanegaraan dari negeri asing, situasinya berubah seperti sekarang ini. Dipenuhi dengan kekacauan yang membuat rakyat mudah bingung.

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network