BATANG,iNewsPantura.id - Suara rintik hujan yang turun membasahi tanah Kedungdowo, Kramat, seakan menjadi latar alami bagi kisah mistis yang masih hidup di tengah masyarakat. Mbah Rayu Slamet, juru kunci Makam Kyai Hasan Surgi Jatikusumo, tetap membuka pintu makam meski hawa sejuk menyelimuti pagi hari. Baginya, tugas ini bukan sekadar kewajiban, tetapi amanat dari mendiang Mbah Surgi sendiri.
Sebagai generasi kedelapan dari juru kunci makam tersebut, Mbah Slamet menuturkan awal mula dirinya ditunjuk untuk merawat makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan seorang telik sandi Pangeran Diponegoro.
Kisah tentang Mbah Kyai Surgi bermula ketika ia bertapa di tepi sungai, namun lambat laun tubuhnya terbawa arus hingga tersangkut di daerah Kedungdowo. Mbah Tasbin, leluhur Mbah Slamet, menemukan dan menyelamatkan beliau. Sebagai bentuk penghormatan, Mbah Tasbin kemudian diamanati untuk merawat makam dan seiring waktu, tugas tersebut turun-temurun hingga ke Mbah Slamet.
Keunikan dari makam ini terletak pada ritual khusus yang harus dilakukan oleh peziarah. Mbah Slamet mengungkapkan bahwa leluhurnya pernah berpesan bahwa setiap orang yang ingin berziarah sebaiknya menjalani puasa selama tiga hingga tujuh hari sebelum datang. Hal ini diyakini dapat menjaga kesucian diri sebelum memasuki area makam.
Saat haul Kyai Hasan Surgi, suasana makam semakin ramai. Peziarah tak hanya berdoa, tetapi juga menggelar berbagai kegiatan religi. Susanti, salah satu anggota majelis taklim asal Pasekaran, menuturkan bahwa ia bersama 50 anggota majelisnya rutin menggelar khotmil quran setiap haul tiba.
Editor : Eddie Prayitno
Artikel Terkait