Warung Sate Rasa Museum: Waroeng Pak Dul Tjepiring Simpan Jejak Kolonial

Eddhie Prayitno
Pelanggan menikmati sate kambing dan kepala manyung sembari melihat sejarah. dokumen

KENDAL,iNewsPantura.id – Sebuah warung sate di sudut Jalan Raya Sriagung, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, menawarkan pengalaman yang berbeda bagi para pengunjung. Waroeng Sate Pak Dul Tjepiring tidak hanya menyajikan hidangan khas seperti sate kambing dan Kepala Manyung Kendal, tetapi juga menghadirkan suasana layaknya museum mini yang sarat nilai sejarah.

Sambil menunggu pesanan disajikan, pengunjung dapat menikmati koleksi benda-benda bersejarah yang merekam jejak kolonialisme Belanda di Kendal, khususnya Cepiring yang pada masa lalu dikenal sebagai salah satu pusat industri gula penting di Jawa Tengah.

Waroeng Sate Pak Dul Tjepiring konon telah berdiri sejak tahun 1940 dan bertahan melintasi zaman. Perubahan Cepiring dari kawasan perkebunan tebu hingga era modern terekam jelas melalui foto-foto klasik yang terpajang hampir di seluruh dinding warung.

Sejumlah foto bersejarah menampilkan potret Pabrik Gula Cepiring tahun 1838, kejayaan perkebunan tebu pada masa kolonial sekitar tahun 1937, hingga dokumentasi pasukan Brigade Tijger dan Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang pernah menancapkan pengaruhnya di wilayah tersebut.

Tak hanya foto, berbagai artefak peninggalan masa kolonial turut dipamerkan. Di antaranya botol Genever berbahan terakota bertuliskan “Daniel Visser & Zoonen Schiedam Opgericht 1714” dan “Hulskampt & ZM & Molyn Rotterdam” yang menjadi penanda kuat hubungan dagang Eropa dengan Cepiring pada masa lampau.

Nilai historis semakin terasa dengan kehadiran benda-benda cetak bersejarah seperti koran Merdeka dan Sin Min edisi 1956 yang dibingkai rapi. Selain itu, terdapat majalah National Geographic tahun 1975, lembaran Star Weekly tahun 1949, hingga Akta Notaris dari BV Houthuysen bertahun 1889.

Aryo Widiyanto, pemilik warung sekaligus generasi ketiga atau cucu pendiri Waroeng Sate Pak Dul Tjepiring, kerap menjelaskan kepada pengunjung kisah di balik foto dan benda antik yang menggambarkan masa transisi dari kolonialisme menuju kemerdekaan Indonesia.

“Kami memang sengaja merancang warung ini sebagai museum mini untuk mengabadikan sejarah perjalanan Cepiring yang pernah menjadi pusat kekuatan dagang dan politik Belanda dengan pabrik gulanya. Di sini kuliner dan sejarah peradaban kami pertemukan dalam satu pengalaman,” ujar Aryo.

Ia menjelaskan, sebagian besar koleksi merupakan peninggalan sang kakek dan ayahnya. Namun, ada pula dokumentasi yang diperoleh dari sejumlah mantan pejabat Pabrik Gula Cepiring yang datang langsung dari Belanda.

“Mereka datang ke Indonesia untuk mengenang masa tugas di pabrik gula, lalu mampir ke warung kami yang dulu juga menjadi langganan. Dari situ mereka berjanji mengirimkan foto-foto dokumentasi yang mereka miliki,” tuturnya.

Keberadaan koleksi tersebut semakin memantapkan tekad Aryo untuk menjadikan warung sate peninggalan kakeknya sebagai pusat kuliner sekaligus ruang edukasi sejarah.

Waroeng Sate Pak Dul Tjepiring pun tak sekadar menawarkan cita rasa, tetapi juga pengalaman batin. Aroma daging bakar dan kuah gulai berpadu dengan suasana vintage, kursi kayu tua, lampu temaram, serta ruang yang dipenuhi memori masa kolonial hingga pascakemerdekaan.

Lebih dari sekadar tempat makan, Waroeng Sate Pak Dul Tjepiring menjelma menjadi ruang budaya dan mozaik kecil yang memadukan nostalgia, kuliner, serta edukasi sejarah bagi setiap pengunjungnya.

Editor : Eddie Prayitno

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network