PEKALONGAN, iNews – Masyarakat Nusantara kaya akan cerita rakyat. Umumnya, cerita rakyat disebarluaskan melalui tuturan. Tak heran jika dalam khazanah kesusastraan Nusantara, seperti diakui A.Teeuw—seorang pakar budaya dan sastra Nusantara kebangsaan Belanda—sastra di Indonesia lebih didominasi sastra lisan.
Di dalam kebudayaan masyarakat, fungsi cerita rakyat tak semata-mata sebagai hiburan. Ia juga menjadi penyampai pesan tentang nilai-nilai luhur suatu bangsa. Seiring waktu pula cerita rakyat kemudian melahirkan mitos-mitos.
Mitos, memang boleh dipercaya, boleh juga tidak. Apalagi biasanya, mitos mengisahkan hal-hal gaib yang sulit diterima dengan nalar. Akan tetapi, sadar atau tidak sadar, di dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak bisa lepas dari mitos. Bahkan, di setiap zaman selalu lahir mitos-mitos baru. Mitos, dengan demikian, terus berkembang mengikuti arus perubahan zaman.
Dulu, mitos selalu disematkan pada kisah-kisah dewa atau orang-orang dengan daya linuwih (sakti). Sekarang, boleh jadi mitos itu telah bergeser maknanya. Misalnya, mitos tentang uang. Bahwa karena memiliki uang banyak, seseorang bisa melakukan apa saja. Dengan begitu, maka uang boleh jadi telah menjadi mitos. Sehingga, sebagian besar orang mengejar uang.
Terlepas dari itu, di Kabupaten Pekalongan, tepatnya di kawasan Wonopringgo, terdapat mitos yang hingga saat ini masih cukup dipercayai oleh masyarakatnya. Yaitu, mitos tentang Candi Gamelan. Tapi tunggu dulu! Kalau Anda membayangkan bentuk Candi Gamelan ini serupa dengan Candi Borobudur atau Prambanan, maka segeralah hapus bayangan itu dalam benak Anda.
Bentuk candi ini sama sekali berbeda dengan candi-candi pada umumnya.Tidak ada bangunan menjulang tinggi di sana. Tidak pula ada ukir-ukiran batu yang megah. Pun tidak ada ratusan anak tangga yang perlu didaki. Candi itu hanya berupa sekumpulan bebatuan yang bentuknya mirip dengan peralatan gamelan.
Asal-usul Candi Gamelan
Konon, menurut kepercayaan masyarakat sekitar Candi Gamelan, sebelum warga desa memeluk agama, kehidupan yang mereka jalani serba bebas. Apapun boleh dilakukan, karena memang tak ada aturan yang mengikat mereka. Kontan, cara hidup mereka pun tak jauh-jauh dari perilaku yang tidak wajar. Mereka bisa saja membunuh orang tanpa alasan jelas. Mereka terbiasa bermain judi dan perempuan. Bahkan, mereka juga tak enggan untuk melakukan perzinaan dan lain-lain.
Pada suatu ketika, datanglah salah seorang wali dari Walisanga. Yaitu Sunan Bonang. Sejak kedatangan Sunan Bonang di desa itu, tanggapan warga menunjukkan sikap tidak sukanya kepada murid Sunan Ampel ini. Malah, Ki Sastro, tokoh pemuka desa tersebut sempat melakukan perlawanan dengan mengerahkan warganya untuk menyerang Sunan Bonang.
Pertarungan yang tidak imbang itu membuat Sunan Bonang beserta sejumlah muridnya kocar-kacir. Guna menghindari jatuh korban dalam jumlah besar, Sunan Bonang dan rombongannya memilih lari dan bersembunyi di hutan bambu (alas pring). Selama di hutan, Sunan Bonang menyusun strategi agar Islam dapat disebarluaskan ke penduduk desa itu.
Didapatlah strategi yang diyakini tepat. Yaitu, mengutus murid kesayangannya, Sunan Kalijaga, untuk mendekati warga desa. Namun, karena saat itu Sunan Kalijaga tak bersamanya, diutuslah seorang muridnya untuk membawa Sunan Kalijaga ke desa itu.
Tak berselang lama, Sunan Kalijaga pun menerima undangan itu dan segera menemui gurunya. Dihadapkan pada Sunan Bonang, wali yang dikenal sangat njawani itu menerima perintah dari gurunya. Ia bersedia menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya.
Dengan segera, Sunan Kalijaga menemui Ki Sastro. Namun, dalam perjalanannya, sebelum bertemu dengan Ki Sastro, Sunan Kalijaga sempat bertemu dengan adik Ki Sastro, yaitu Ki Dirjan. Saat itu, Ki Dirjan tengah menjalani pertapaannya.
Kepribadian Ki Dirjan berbeda dengan kakaknya. Ia orang yang mudah diajak bicara. Bahkan, mau menerima kehadiran Sunan Kalijaga dengan ramah. Saat pertemuan itu, Sunan Kalijaga menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu melaksanakan tugas dari gurunya untuk meneruskan penyebaran agama Islam di desa Ki Sastro tinggal. Namun, untuk bisa melaksanakan tugas itu, ia harus menumpas Ki Sastro. Tersebab itu, ia meminta izin kepada adik Ki Satro untuk melakukan perlawanan terhadap Ki Sastro.
Ki Dirjan yang berperangai baik itu pun mengizinkan. Bahkan, ia juga dengan sukarela berniat membantu upaya Sunan Kalijaga menghadapi kakaknya. Apalagi, Ki Dirjan sangat paham betul kelemahan kakaknya itu.
Berangkatlah keduanya menghadap Ki Sastro. Saat kedua kubu saling berhadapan, perang di antara kedua kelompok ini pun berlangsung sengit. Ki Sastro, selain mengerahkan warga desa yang dipimpinnya, juga mengerahkan ilmu kanuragannya. Tetapi, ia lengah, adiknya memiliki kemampuan untuk menangkal dan melemahkan kekuatan itu. Dan, atas bantuan itulah Sunan Kalijaga lantas dapat memenangi perang.
Sesuai perjanjian pula, kekalahan Ki Sastro harus dibayar dengan memberi izin kepada Sunan Kalijaga beserta rombongannya untuk menyebarkan Islam di desa itu. Atas izin itu Sunan Kalijaga dapat melakukan tugasnya dengan leluasa. Dengan gaya dakwahnya yang khas, yaitu melalui media pertunjukan wayang kulit, ia sebarkan agama Islam di desa itu. Penduduk pun merasa senang dengan metode dakwahnya. Berbondong-bondong mereka akhirnya memeluk agama Islam.
Melihat caranya menyebarkan Islam, Ki Dirjan pun merasa senang. Bahkan, persahabatannya dengan Ki Dirjan pun semakin baik. Sampai pada suatu saat, Sunan Kalijaga berkunjung ke kediaman Ki Dirjan. Saat itu, tanpa sengaja, Sunan Kalijaga bertemu seorang gadis kembang desa yang tak lain adalah anak angkat Ki Dirjan. Namanya, Dewi Suci.
Usut punya usut, Sunan Kalijaga rupanya jatuh hati pada putri Ki Dirjan. Lantas, ia meminta izin kepada Ki Dirjan untuk meminang putrinya. Dengan tangan terbuka, Ki Dirjan menerima lamaran itu. Dinikahkanlah putrinya dengan Sunan Kalijaga.
Namun, suatu malam Sunan Kalijaga mendapati mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu ia mendapatkan sebuah wangsit, bahwa ia tak boleh menggauli Dewi Suci yang telah diperistrinya. Mendapati mimpi itu, Sunan Kalijaga merasa ada sesuatu yang tidak beres akan terjadi. Ia pun mawas diri, waspada.
Rupanya firasat itu tak meleset. Suatu malam, ketika ia hendak manggung wayang, ia mendapati rombongan yang dipimpinnya kebingungan dan panik. Rupanya, seperangkat gamelan yang biasa mereka tabuh itu hilang dicuri orang. Tak hanya itu, Dewi Suci pun ikut diculiknya pula.
Beruntunglah, salah seorang warga desa mengetahui kejadian itu. Lalu, melaporkan kepada Sunan Kalijaga. Ternyata, pelaku penculikan itu tidak lain adalah musuh bebuyutan gurunya, yang sekaligus musuhnya yang pernah dikalahkan, Ki Sastro. Bersama rombongannya, Ki Sastro mencuri perangkat gamelan itu dan memboyong Dewi Suci. Itu semua dilakukan Ki Sastro karena ia masih belum bisa menerima tindakan Sunan Kalijaga untuk mengajarkan Islam di desanya. Ia bersama kelompoknya tidak terima jika di desa mereka Islam menjadi agama penduduk. Selain itu, ada pula motif dendam yang ditujukan pada Sunan Kalijaga dan terutama pada adiknya, Ki Dirjan. Ia tidak terima dengan kekalahannya.
Tak menunggu lama, Sunan Kalijaga dan rombongannya bergegas mencari tempat persembunyian Ki Sastro. Atas bantuan Ki Dirjan pula, usaha untuk menemukan tempat persembunyian Ki Sastro tak menemui kesulitan. Namun, sebagai orang yang tak mau kalah, Ki Sastro mengerahkan kekuatan kelompoknya untuk melawan Sunan Kalijaga. Pertempuran sengit pun terjadi, namun seperti tak punya jalu, Ki Sastro kalah telak. Sunan Kalijaga dengan mudah menaklukkan kesaktiannya.
Ki Sastro dan kelompoknya pun ditangkap. Saat itu, Ki Sastro meminta maaf kepada Sunan Kalijaga. Permintaan maaf itu pun diterima. Sikap Sunan Kalijaga yang pemaaf itu membuat Ki Sastro menyesali benar tindakan bodohnya. Ia pun berjanji tidak lagi akan mengganggu dakwah Sunan Kalijaga.
Sayang, sekalipun Sunan Kalijaga berhasil membekuk Ki Sastro dan kelompoknya, namun nyawa Dewi Suci tak sempat ia selamatkan. Selama dalam penyekapan Ki Sastro, putri angkat Ki Dirjan itu rupanya mengalami penyiksaan. Anak buah Ki Sastro menyiksanya, hingga ia menghembuskan napas terakhirnya. Itulah yang membuat Sunan Kalijaga sedih. Dan itu pula yang membuatnya merasa bahwa mimpinya tempo hari adalah firasat buruk.
Dalam suasana berkabung, Sunan Kalijaga masih merasakan kesedihan yang mendalam atas kepergian istrinya. Ia juga meminta maaf kepada ayah angkat istri tercintanya, Ki Dirjan, karena tak mampu menjaga putrinya dengan baik. Ki Dirjan memahami dan memaklumi hal itu. Ia tahu, peristiwa itu bagian dari cobaan hidup bagi orang besar seperti Sunan Kalijaga.
Kisah meninggalnya putri Ki Dirjan itu juga menjadi alasan mengapa dinamai Dewi Suci. Sebab, sekalipun telah dinikahi Sunan Kalijaga, hingga akhir hayatnya, gadis itu masih suci. Belum sekalipun disentuh oleh suaminya, Sunan Kalijaga.
Usai masa berkabung, Ki Dirjan mengajukan permintaan khusus pada Sunan Kalijaga. Ia ingin Sunan Kalijaga memainkan wayang kulit di desa itu. Permintaan itu sekaligus sebagai penglipur lara Sunan Kalijaga yang baru saja melewati masa berkabung. Selain itu, juga sebagai bentuk dukungannya kepada Sunan Kalijaga untuk terus melakukan dakwah.
Pertunjukan wayang kulit pun dilangsungkan. Saat itu, seluruh warga desa itu memenuhi halaman rumah Ki Dirjan. Tampak pula hadir dalam helat itu orang yang pernah memusuhi Sunan Kalijaga, Ki Sastro. Ia ikut menyaksikan pergelaran wayang itu. Sejak itu pula, seluruh warga desa tempat Ki Sastro dan Ki Dirjan tinggal merasa terpanggil hatinya untuk memeluk agama Islam.
Dan, pertunjukan itu adalah pertunjukan terakhir yang digelar Sunan Kalijaga di desa itu. Sebab, setelah beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga memutuskan untuk meninggalkan desa itu. Kepergian Sunan Kalijaga dilepas tangis dan duka oleh seluruh warga desa. Mereka merasa kehilangan sosok pamomong yang berhati dingin. Setiap ucapannya lembut dan menyejukkan.
Beberapa hari setelah kepergian Sunan Kalijaga, sejumlah warga menemukan batu-batu yang bentuknya menyerupai perangkat gamelan yang digunakan Sunan Kalijaga di bantaran sungai Sengkarang. Tidak hanya sebuah, tetapi ada banyak batu dengan bentuk yang serupa alat-alat gamelan. Oleh warga, batu-batu itu lantas dipungut dan dipindahkan ke tempat yang layak. Batu-batu berbentuk gamelan itu dikumpulkan dan ditata. Sejak itu tatanan batu gamelan itu disebut sebagai Candi Gamelan.
Begitulah salah satu mitos tentang Candi Gamelan yang hingga ini masih diyakini oleh masyarakat. Namun, kisah itu masih memiliki versi lain. Mau tahu versi lain dari kisah itu? Dan kira-kira di manakah Candi Gamelan itu berada? Ikuti terus kisah mitos Candi Gamelan di inewspantura.id.
** Disarikan dari Mitos Cerita Candi Gamelan di Kabupaten Pekalongan oleh Defina Lutfitasari (2011)
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait