PEKALONGAN, iNews.id – Bagai sebilah belati bermata dua, media sosial memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Bermanfaat sebagai sarana penyebaran informasi, di lain sisi media sosial juga berpotensi menimbulkan tindak kejahatan. Terutama, dalam bentuk ujaran.
Seperti telah diatur dalam Undang-Undang ITE, setiap tindak kejahatan di media elektronik maupun digital bisa dijerat pasal-pasal hukum. Hadiahnya, bisa saja menginap untuk beberapa lama di hotel prodeo. Makanya, ada baiknya bersikap hati-hati dalam menggunakan media sosial. Jangan sampai karena terpancing emosi, kita lepas kendali hingga membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan diri sendiri.
Namun, bagaimana sebenarnya mekanisme pembuktian sebuah ujaran di media sosial bisa dikenai pasal hukum? Pakar linguistik Universitas Pekalongan, Ika Arifianti mengungkapkan, proses penyidikan kasus pelanggaran UU ITE tak cukup hanya menghadirkan saksi ahli hukum (baik pidana maupun perdata). Akan tetapi, dapat pula melibatkan saksi ahli bahasa. Mengapa?
Menurutnya, karena objek yang dijadikan sebagai alat bukti adalah bahasa. Penggunaan bahasa di media sosial memiliki potensi untuk menjadi multitafsir. “Suatu pernyataan, bisa saja menghasilkan banyak makna. Apalagi kalau yang menggunakan adalah orang yang sangat memahami cara kerja bahasa,” tuturnya kepada iNewspantura.id.
Tersebab itu, posisi ahli bahasa, dalam penyingkapan kasus-kasus pelanggaran UU ITE memiliki peran penting. Karena keahliannya di dalam menganalisis bahasa, ia punya kewenangan untuk menyodorkan hasil analisis bahasanya sebagai alat bukti pendukung yang diperlukan.
“Sebagai alat bantu penyingkapan kasus pelanggaran UU ITE, khususnya untuk kasus delik aduan, seorang ahli bahasa akan menggunakan lingustik foreksik. Seperti halnya bidang forensik, linguistik forensik ini mengkhususkan pada penyingkapan suatu kasus dari segi kebahasaan. Dimulai dari identifikasi suara, interpretasi makna, analisis wacana, identifikasi penulis, bahasa hukum, analisis bahasa ruang sidang yang digunakan oleh peserta sidang, hukum merek dagang, dan interpretasi dan terjemahan ketika lebih dari satu bahasa harus digunakan dalam konteks hukum,” tutur dosen yang sekaligus nyambi sebagai saksi ahli di Kepolisian Resor Pekalongan Kota.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sebagaimana diungkapkan Ika, linguistik forensik bekerja dengan data faktual. Artinya, postingan-postingan di media sosial dapat dijadikan sebagai data faktual dalam penyingkapan kasus hukum. Data-data tersebut dianalisis untuk selanjutnya digunakan penegak hukum dan ahli bahasa di dalam mengeksplorasi ide-ide dari kunci bahasa hukum.
“Setelah itu, saksi ahli akan menyajikan temuan bukti dan menjelaskan aspek-aspek teknis dari bukti yang memungkinkan mereka untuk mengevaluasi. Sementara itu, kesaksian polisi berkaitan dengan prosedur pengumpulan bukti, penangkapan, interograsi dan wawancara, TKP, menyimpan dan memeriksa barang bukti dan memberikan informasi di pengadilan terkait dengan prosedur yang ditentukan,” terang Ika.
Dalam kasus delik aduan, menurut Ika, seseorang yang merasa dirugikan oleh postingan di media sosial berhak untuk melaporkan dan menyampaikan tuntutan atas perlakuan tidak menyenangkan tersangka di media sosial. Delik aduan diberikan kepada setiap warga negara sebagai upaya penegakan hukum, khususnya memberikan perlindungan kepada pihak yang dirugikan serta memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Meski begitu, di dalam proses penyidikan kasus delik aduan, khususnya yang berkenaan dengan penggunaan media sosial, dibutuhkan saksi ahli. Memang, saksi ahli boleh saja ada boleh juga tidak. Tetapi, posisi saksi ahli akan memberikan kejelasan tentang kasus yang diadukan. Setidaknya, dapat memberikan keterangan yang jelas mengenai alat-alat bukti.
Untuk itu, ia mengimbau, agar di dalam memanfaatkan media sosial, masyarakat lebih berhati-hati. Terutama, dalam penggunaan bahasa. “Kalau ada masalah, sebaiknya selesaikan dengan baik-baik. Jangan buru-buru diunggah di media sosial. Sebab, kalau pihak yang merasa dirugikan tidak terima, bisa-bisa malah kita berurusan dengan meja hijau,” pungkasnya.
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait