PEKALONGAN, iNewspantura.id – Tak jarang kita terperangkap oleh cara pandang kita sendiri. Terhadap segala sesuatu yang oleh akal dianggap aneh, kita kerap menduga sesuatu itu sebagai hal yang tak masuk akal. Mustahil. Kemudian, kita tak menerimanya sebagai kenyataan.
Padahal, kalau kita cermati dengan saksama, kita itu hidup dalam selubung kenyataan yang sesungguhnya sangat di luar nalar. Alam semesta adalah gambaran tentang irasionalitas itu. Bahkan, pada diri manusia pun terlalu banyak hal yang tak rasional.
Sebagai misal, dalam pertumbuhan manusia. Dalam ilmu biologi, pertumbuhan manusia dimulai dari cairan nutfah yang membuahi sel telur dan disimpan dalam rahim. Lantas, secara bertahap, pembuahan itu berproses. Mulai dari segumpal darah, daging, hingga tumbuh menjadi jabang bayi.
Secara fisik, ilmu biologi dapat menjelaskan proses pertumbuhan itu. Tetapi, bagaimana awalnya cairan itu akhirnya mengalami proses yang demikian rumit, tampaknya ilmu biologi tak cukup mampu menjelaskannya. Bahkan, bagaimana kemudian roh ditiupkan kepada janin pun belum mampu diuraikan oleh ilmu yang satu ini.
Dalam pemahaman pemikiran Barat, segala sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan acap kali disebut sebagai ihwal di luar nalar manusia. Sesuatu yang irasional. Kemampuan ilmu pengetahuan manusia untuk menjangkau realitas sangatlah terbatas.
Walau demikian, tidak berarti bahwa apa yang dilahirkan dari pengetahuan Barat itu tak berguna. Sebaliknya, melalui pengetahuan Barat itu sesungguhnya kita juga menerima manfaat. Sekurang-kurangnya, pengetahuan itu bisa kita gunakan sebagai gerbang awal untuk memasuki dimensi pengetahuan yang lebih dalam, untuk mempelajari realitas.
Kenyataan atau realitas memiliki lapis-lapis dimensi yang kompleks. Tidak sekadar apa yang bisa ditangkap oleh pancaindera manusia. Tidak pula sekadar apa yang bisa dirasakan oleh batin manusia. Masih banyak lapisan tabir yang sulit ditembus oleh penginderaan dan akal manusia.
Tetapi, bagi orang-orang yang diistimewakan oleh Allah swt tabir rahasia itu mungkin saja dapat disibak. Tentu, atas izin-Nya dan Allah berkenan.
Sebagaimana kisah tentang sayidina Umar bin Khattab yang berkirim surat kepada sungai Nil. Kisah ini kembali disampaikan K.H. Muhammad Saifuddin Amirin ketika menerangkan tafsir Al Jalalain atas surat Al Baqarah ayat 70-71.
Dengan sangat hati-hati, beliau sampaikan, bahwa kandungan makna dalam penggalan ayat itu menandai, betapa kebanggaan manusia atas akalnya dapat membuat ia sulit menerima realitas yang sesungguhnya. Akal manusia, harus diakui merupakan sebuah anugerah yang istimewa dari Allah swt. Dengan akalnya, manusia bisa melahirkan banyak pengetahuan dan teknologi yang hebat. Akan tetapi, kepandaian seorang manusia apabila tak disandingkan dengan nilai keimanan, sangat mungkin membuat manusia bersikap tinggi hati dan tak mudah menerima hal-hal di luar nalar mereka.
Begitulah yang terjadi pada kisah Nabi Musa alaihis salam di hadapan kaumnya, Bani Israil. Setelah mereka meminta saran kepada Nabi Musa atas kecemasan mereka akibat kasus pembunuhan, mereka malah menganggap saran itu sebagai perihal yang mustahil. Menurut mereka, saran Nabi Musa agar mereka menyembelih seekor sapi bukanlah saran yang tepat. Sebab, tidak ada hubungan dengan kasus yang mereka alami. Dalam bahasa ilmiah Barat, saran itu dianggap cacat logika.
Namun, harus dipahami pula, bahwa tawaran saran itu bukan semata-mata buah pikiran Nabi Musa. Akan tetapi, adalah wahyu dari Allah swt. Dan, sudah pasti, anjuran itu memiliki makna tersendiri. Sayang, anjuran itu justru dipertanyakan. Bahkan, mereka menganggap anjuran itu semacam olok-olok yang merendahkan derajat mereka sebagai kaum yang maju dalam dunia pemikiran kala itu.
Sikap semacam ini, oleh K.H. Saifuddin dikatakan sebagai sikap yang sombong di hadapan Allah. Dan, di dalam kesombongan itu, tampak pula sikap menentang. Padahal, sehebat apapun kemampuan akal manusia. Seluas apapun pengetahuan manusia, tiada mungkin sanggup menyamai apalagi menandingi kekuasaan Allah. Lantas, bagaimana sikap yang semestinya?
Sambil tersenyum, K.H. Saifuddin menganjurkan, sikap terbaik yang bisa ditunjukkan oleh umat terbaik adalah sumeleh. Bersandar pada ketentuan Allah. Seperti yang ditunjukkan Nabi Musa dalam kisah itu. Walau Nabi Musa dikenal sebagai nabi yang cerdas, dengan kemampuan pikirannya yang melampaui zaman, beliau tak semerta mengambil keputusan sendiri atas kasus itu. Yang beliau tunjukkan, justru sikap yang sungguh-sungguh rendah hati. Mengakui keterbatasan atas kemampuan akalnya, menyerahkan permasalahan itu kepada Dzat Yang Haq.
Demikian pula pada sahabat Kanjeng Nabi Muhammad saw, sayidina Umar bin Khattab. Seperti dituturkan K.H. Saifuddin Amirin, dalam suatu masa, sayidina Umar pernah menjumpai suatu masalah yang mengiris rasa kemanusiaan.
Jauh di Mesir, di lembah sungai Nil. Selepas sahabat Amr bin Ash membebaskan Mesir dari cengkeraman kekaisaran Persi dan Romawi. Di saat matahari tengah merekah cahayanya, beliau menyempatkan diri untuk berkeliling Mesir. Seraya mengenal lebih dekat apa dan bagaimana Mesir, negeri yang menyimpan ribuan catatan sejarah itu.
Ditemani sejumlah sahabat lainnya, Gubernur Mesir yang baru itu menyambangi tiap tempat dan singgah untuk beberapa saat. Di setiap tempat beliau singgah selalu ia temui sambutan hangat dari penduduk kota. Senyum sapa dan obrolan yang menyenangkan tak pernah lepas di sepanjang perjalanan itu.
Namun, saat derap langkah kuda yang ditungganginya itu mendekati sungai Nil, ada sesuatu yang kurang sedap dipandang mata. Disaksikannya sungai itu tak dialiri air. Setetes pun.
Seketika, rasa ingin tahunya terpancing. Sambil menyimpan pertanyaan di dalam benaknya, lantas ia putuskan untuk mengikuti alur kelok sungai. Berharap akan dijumpanya mata air yang menjadi permulaan aliran sungai yang dahulu menjadi tempat Nabi Musa dihanyutkan.
Sepanjang perjalanan, di bawah terik matahari yang memanggang kulit, rupanya tak ia temukan tanda-tanda keberadaan mata air. Namun, rasa ingin tahunya yang begitu besar tak membuat langkahnya surut. Tak juga memadamkan semangatnya. Pikirannya juga digayuti oleh nasib orang-orang Mesir yang dilanda kekeringan.
Sebagai seorang Gubernur, nasib orang-orang Mesir telah menjadi tanggung jawabnya. Tak tega rasanya jika sampai mereka hidup terlunta-lunta. Menderita sakit atau kelaparan. Bagaimana pula dengan tanaman dan binatang? Jika mereka mati, maka tidak ada lagi tempat untuk berteduh dan menemukan makanan.
Dalam pikiran yang kalut itu, di tengah perjalanan, tampak di kejauhan ada kerumunan orang tengah berkumpul di bawah sebatang pohon besar, di dekat sungai. Di tengah-tengah mereka yang duduk melingkar, berdirilah seorang perempuan muda. Parasnya cantik. Tetapi, kecantikan gadis itu seketika meluntur oleh pancaran wajahnya yang menyiratkan ketakutan.
Melihat pemandangan itu, Amr bin Ash melajukan kudanya lebih cepat menuju kerumunan itu. Begitu ia sampai, segera ia turun dari kudanya. Menemui orang-orang yang tengah berkerumun itu. Mereka tak keberatan dengan kehadiran Amr bin Ash. Malah, orang-orang Mesir itu menyambutnya hangat. Apalagi begitu mereka tahu, bahwa orang yang di hadapan mereka itu adalah Gubernur Mesir. Lantas, tanpa rasa sungkan-sungkan mereka memintanya agar memimpin upacara adat yang sedang mereka lakukan.
Sontak, Amr bin Ash terkejut. Lalu bertanya, “Upacara apa yang sedang kalian lakukan, saudaraku?”
“Ini sudah menjadi adat kami tiap tahun. Terutama saat bulan Bu’nah tiba. Sepanjang bulan ini sungai kami kering. Dan kami percaya, sungai Nil sangat menginginkan korban dari kami, Tuan,” jelas salah seorang yang usianya tampak paling tua di antara mereka.
Sejenak, pandangan mata Amr bin Ash tertuju pada gadis yang tengah menahan isak tangisnya. “Apakah ia yang akan kalian korbankan?” tanya Amr bin Ash.
“Dewa-dewa kami yang memintanya, Tuan,” jawab lelaki tua itu.
Amr bin Ash sebentar diam. Ia berpikir, bagaimana caranya menyelamatkan gadis itu sekaligus berusaha keras menemukan cara untuk menghentikan upacara itu tanpa pertumpahan darah, tanpa ada perasaan yang dilukai.
“Baiklah,” kata Amr bin Ash, “Aku akan memimpin upacara ini.”
Orang-orang dalam kerumunan itu seketika merasa lega mendengar kesanggupan Amr bin Ash. Mereka saling berpandangan dan senyum mereka mengembang.
“Dan, karena aku yang memimpin upacara ini, maka aku minta satu syarat kepada kalian,” lanjut Amr bin Ash.
“Demi dewa-dewa, sebutkan saja Tuan syarat yang engkau kehendaki!” seru lelaki tua pemimpin upacara adat itu.
“Aku rasa hari ini bukanlah hari yang tepat untuk menggelar upacara ini. Maka, aku minta lain hari. Agar persiapan upacara ini jadi lebih baik dan sempurna. Bagaimana?” tanya Amr bin Ash.
“Dengan senang hati, Tuan. Kami akan menunggu waktu yang tepat, sebagaimana yang Tuan janjikan,” jawab lelaki tua itu.
Legalah hati Amr bin Ash kala itu. Tawaran untuk menunda upacara itu diterima. Itu artinya, ia punya cukup waktu untuk mengatur strategi.
Segera setelah pertemuan itu, ia kembali ke kediamannya. Selekas mungkin ia menuliskan surat yang dikirimkan kepada Amirul Mukminin sayidina Umar bin Khattab di Madinah. Dalam surat itu, ia sampaikan kejadian yang ia lihat. Ia sampaikan pula, jika peristiwa itu begitu menggelisahkan hatinya sebagai seorang Gubernur.
Dalam beberapa waktu kemudian, surat Amr bin Ash sampai ke tangan Umar bin Khattab. Membaca keluh kesah sahabatnya itu, Umar bin Khattab segera mengirimkan balasan bersama dengan seorang utusan. Beliau tak mau jika sahabatnya sampai lama menunggu.
Sampailah utusan itu di hadapan Amr bin Ash. Lantas, ia sampaikan pesan Khalifah Umar bin Khattab. Bahwa, surat balasan yang dibawanya itu bukan terkirim untuk Amr bin Ash. Namun, ditujukan kepada sungai Nil. Surat itu pun diterima Amr bin Ash dengan senang hati. Akan tetapi, karena surat itu bukan tertuju padanya, ia tak berani membuka segel surat itu. Yang bisa ia lakukan hanya membawa surat itu kepada sungai Nil.
Dengan sigap, segera ia menyiapkan segala keperluan. Ia mengajak beberapa sahabat dan utusan itu menuju sungai Nil. Tepatnya, di tempat upacara yang tempo hari ia tunda.
Singkat cerita, sampailah Amr bin Ash di tempat upacara itu. Di sana, tampak orang-orang berkumpul. Mereka telah menantikan hari itu terjadi.
Di hadapan mereka, Amr bin Ash lantas memohon izin, “Saudaraku, setelah aku menyampaikan pesan kalian kepada Amirul Mukminin, Sayidina Umar bin Khattab, dan atas izin Allah aku mendapatkan mandat untuk menyampaikan pesan beliau. Pesan ini ditulis dalam surat yang dilayangkan kepada sungai Nil. Maka, aku meminta agar kalian menjadi saksi bahwa aku telah menyampaikan isi pesan itu kepada sungai Nil.”
Mendengar itu, semua tak keberatan. Semua bersedia menjadi saksi. Lantas, Amr bin Ash segera menuju tepi sungai diikuti semua yang hadir.
Gulungan surat Umar bin Khattab itu pelan ia buka. Kemudian dibentangkan. Dan, mulailah ia membacakan isi pesan cinta Umar bin Khattab itu kepada sungai Nil.
Dari : Hamba Allah Amirul Mukminin Umar
Kepada: Sungai Nil di Mesir
Bismillahirrahmanirrahiim,
Wahai sungai Nil, lewat surat ini aku ajukan pertanyaan untukmu. Apa yang membuatmu mengalir? Atas kehendakmu sendiri atau atas perintah Allah? Dan jika air yang mengaliri sungaimu ini atas perintah Allah, maka telah aku mohon kepada-Nya agar Allah yang Maha Kuasa membiarkan sungaimu mengalir lancar. Tetapi, jika kau mengalir atas kehendakmu sendiri, aku tidak bisa memaksa. Itu terserah padamu.
Setelah isi surat itu disampaikan, Amr bin Ash lantas melemparkan surat itu ke dalam sungai Nil. Setelah itu tak ada upacara seperti yang diinginkan orang-orang Mesir. Sudah barang tentu, hal itu agak mengecewakan mereka. Bahkan, dalam keadaan kecewa itu, orang-orang Mesir hampir saja pergi meninggalkan kotanya. Mereka seolah-olah putus harapan.
Tetapi, pada hari berikutnya, di Sabtu yang cerah, tersiar kabar bahwa sungai Nil kembali mengalirkan air yang segar. Kabar itu menangguhkan hasrat mereka untuk meninggalkan Mesir. Peristiwa itu terjadi tentu atas izin Allah. Dan, sejak itu pula, upacara pengorbanan gadis tak lagi berlaku.
Lewat kisah itu, K.H. Muhammad Saifuddin Amirin kemudian menyampaikan pesan, bahwa di dunia ini apa yang tampaknya tak masuk akal di mata manusia, sangat mungkin terjadi apabila Allah menghendakinya. Oleh sebab itu, teruslah untuk berusaha mendekatkan diri kepada Allah, agar kita diselamatkan dan senantiasa dihindarkan dari kemungkinan-kemungkinan yang berdampak buruk bagi kita. Jangan sampai, dengan akal kita, sikap yang kita tunjukkan justru membuat kita terjungkal. Sebagaimana kaum-kaum terdahulu yang banyak dikisahkan dalam Al Quran.
Editor : Ribut Achwandi