PEKALONGAN, iNewspantura.id - Menapaki jejak masa lalu, bagi sebagian orang, merupakan sebuah tamasya yang mengasyikkan. Saat membaca kisah-kisah masa lampau, kita diajak melintasi ruang-waktu yang terpaut jauh. Membayangkan, bagaimana kehidupan yang berlaku pada masa itu, meski tak persis betul. Yang jelas, dengan mempelajari sejarah, selain memperkaya pengetahuan kita akan masa lalu, juga akan membuat kita semakin memahami bagaimana kehidupan itu bergulir.
Salah satu peristiwa sejarah yang mestinya tidak kita abaikan adalah kehadiran Cleopatra. Dalam sebuah kesempatan, di tengah-tengah K.H. Muhammad Saifuddin Amirin menyampaikan uraian mengenai Tafsir Al Jalalain sempat menyinggung nama Cleopatra. Kala itu, kepada seluruh jamaah beliau menanyakan apakah tokoh yang satu ini nyata atau cerita fiksi belaka?
Menanggapi pertanyaan itu, para jamaah agak ragu-ragu menjawab. Beberapa dari mereka tampak menjawab, tetapi suaranya tak begitu lantang terdengar. Sementara yang lain, memperlihatkan sikap bimbang.
Keragu-raguan itu membuat Kiai muda asal Pekalongan ini memberikan penekanan kembali pertanyaannya. Tetapi, lagi-lagi suara para jamaah terdengar mengambang. Tampak kurang yakin.
K.H. Muhammad Saifuddin Amirin pun tampak geli menyaksikan pemandangan demikian. Dalam tawanya yang lirih, beliau lantas memaklumi keadaan tersebut. Sekalipun nama yang beliau sebut itu tidak asing di telinga, namun kebanyakan orang mendengar nama itu hanya dari film. Tak pelak pula jika tidak sedikit yang menyangka bahwa nama Cleopatra semata-mata tokoh fiksi.
Padahal, selain difilmkan, banyak para peneliti—terutama peneliti Barat—yang sangat bersemangat melakukan penelitian tentang kehidupan Ratu Mesir di tengah-tengah bangsanya. Mereka juga menuliskan sejarah tentang tokoh legendaris, Ratu Mesir itu. Begitu banyak judul buku tentang tokoh yang satu ini. Salah satunya, sebagaimana yang disebut Rama Kiai, adalah Kitab Tarikhiyah Palestina. Di dalam kitab itu, masa Cleopatra berkuasa setelah 600 tahun dari zaman Nabi Musa. Namun, ada pula yang menyebutkan 2.000 tahun setelah era Nabi Musa. Mana yang benar? Wallahu a’lam.
Sampai saat ini, penggalian sejarah Mesir masih terus berlangsung. Melibatkan banyak sarjana dari berbagai negara. Makanya, sebagaimana diungkap Kiai Saifudin (sapaan akrab beliau), sebagai generasi masa kini, siapapun, mestinya gemar-gemarlah membaca. Memang, membaca itu butuh ketekunan dan ketelitian. Tetapi, insyaallah, akan datang manfaat yang lebih.
“Yang mudah memang nonton film. Tetapi, film—khususnya film cerita—itu kan fiksi. Maka, perlu kita semua lebih tekun membaca buku-buku atau kitab-kitab. Semakin banyak yang kita baca, semakin banyak yang kita serap dan semakin luas wawasan kita. Dengan banyak membaca, kita ngertinya tidak sepotong-potong,” ujar Kiai.
Seperti disampaikannya, diakui atau tidak, film menawarkan sebuah pandangan yang praktis. Sehingga, mudah dicerna dan dimengerti. Namun, kisah sosok Cleopatra rupanya tidak hanya difilmkan dalam satu judul film. Dari perjalanan waktu, film tentang Cleopatra sudah ada sejak era film bisu.
Di era film bisu, seorang sutradara film bisu kebangsaan Amerika, Charles L. Gaskill, sempat memfilmkan sosok Ratu Mesir. Tepatnya, pada tahun 1917. Film ini merupakan adaptasi dari naskah drama karya Victorien Sardou.
Selang 28 tahun berikutnya, tahun 1945, film tentang Cleopatra kembali muncul. Film ini diadaptasi dari naskah drama karya George Bernard Shaw. Meski begitu, agaknya penggambaran tokoh sejarah fenomenal pada dua film lawan ini nyaris sama. Cleopatra diimajikan sebagai sosok perempuan yang anggun.
Tahun 1953, di Italia, seorang sutradara film, Mario Mattoli, memproduksi film tentang Cleopatra. Kali ini, konsepnya lebih mengarah pada bentuk film komedi. Hanya, gambaran tentang Cleopatra dalam film ini mulai dicitrakan sebagai perempuan pennggoda laki-laki. Berbeda dengan film garapan Joseph L. Mankiewicz pada tahun 1963. Ia mengadaptasikan buku karya Carlo Maria Franzero yang berjudul The Life and Time of Cleopatra (1957). Dalam buku dan filmnya, sosok Cleopatra digambarkan sebagai perempuan cerdas. Kecerdasannya itu membuat ia dengan mudah menaklukkan Kekaisaran Romawi.
Tak berselang lama, tahun 1964, Gerald Thomas menyutradarai produksi film Carry on Cleo. Film ini bergenre komedi dengan menampilkan Ratu Cleopatra sebagai ratu yang konyol. Nyaris sama dengan film garapan Gerald Thomas, tahun 2002, film Cleopatra yang dibintangi Monica Belluci pun menampilkan kelucuan-kelucuan. Tahun ini, 2021, kisah mengenai Cleopatra diangkat lagi dalam film, disutradarai oleh Patty Jenkins.
Banyaknya film, juga tulisan-tulisan mengenai tokoh legendaris ini tentu sedikit banyak akan memengaruhi cara pandang kita atas ketokohannya. Dalam perspektif Barat, umumnya, tokoh dengan nama besar ini cenderung dicitrakan sebagai tokoh yang penuh ambisi untuk berkuasa. Citra negatif lain yang digambarkan oleh para penulis Barat adalah berkenaan dengan urusan hubungan asmara.
Pandangan Barat yang demikian, mula-mula datang dari pandangan bangsa Romawi. Bangsa besar ini punya hubungan sejarah dengan Mesir, terutama pada masa Cleopatra menjadi Ratu Mesir. Bahkan, dalam periode berikutnya, Kekaisaran Romawi akhirnya menaklukkan Mesir dan menguasainya. Sejak saat itu, sejarah Mesir—termasuk kisah tentang Cleopatra—dimanfaatkan oleh Kaisar Romawi yang tengah berkuasa. Ia mengubahnya sesuai keinginan pribadinya. Lantas, menyebar ke dunia Barat dan dikembangkan ke dalam bentuk-bentuk cerita dan pentas drama.
Bahkan, dalam masa-masa berikutnya, penulis-penulis Barat seperti William Shakespeare memberi kesan yang kurang elok terhadap tokoh Ratu Mesir ini. Tetapi, karya naskah dramanya demikian kuat menancap dalam benak bangsa-bangsa Barat. Seolah-olah menjadi kiblat alam pemikiran Barat tentang tokoh yang diagungkan oleh bangsa Afrika. Pandangan Shakespeare demikian rasial. Menganggap Cleopatra bukan sebagai pahlawan bangsa Mesir, melainkan sebagai wanita penggoda.
Mengapa Barat memandanngnya demikian? Salah satu penyebabnya, karena Barat cemburu dengan kedahsyatan Mesir. Peradaban Mesir, sejak dahulu sudah maju. Kerajaannya pun demikian kuat. Sehingga, banyak dari penguasa di wilayah luar ingin menguasainya. Dan, ketika Cleopatra berkuasa, Mesir diambang kehancuran. Cleopatra adalah Ratu Mesir terakhir.
Dalam beberapa catatan yang ditulis oleh pengarang-pengarang Arab, citra Ratu Mesir yang terakhir ini sangat berbeda dengan pandangan Barat. Cleopatra atau dalam bahasa Arab disebut Qilābaṭrah, Qalūbaṭrah, atau Kilyubaṭrah, merupakan putri dari Ptolemy (Baṭlīmūs). Ia memerintah Mesir selama dua puluh tahun, setelah ayahnya mangkat.
Umumnya, catatan-catatan itu menunjukkan, jika Cleopatra adalah seorang ratu yang bijaksana. Ia adalah seorang filsuf perempuan. Konon, ia juga dikenal sebagai seorang ahli matematika yang ulung, ahli juga di bidang kimia. Bahkan, keahliannya di bidang kimia inilah yang membuat Mesir sangat dikenal dengan wewangian parfum alami. Dengan kecakapannya di bidang kimia, dikisahkan pula jika Cleopatra gemar meracik obat-obatan.
Gambaran lain tentang Ratu Mesir yang terakhir ini juga menunjukkan betapa ia adalah seorang sarjana yang hidup di antara para pemikir yang mumpuni. Sehingga, ketika memimpin Mesir, ia tak jarang memperlihatkan kedekatannya dengan para filsuf. Maka, tak mengherankan pula jika ia dikenal pula sebagai seorang diplomat ulung, serta seorang ahli strategi.
Sebagai seorang ahli strategi, Cleopatra tergolong cerdas. Ia sangat mengetahui ambisi para pemimpin bangsa-bangsa lain. Terutama bangsa Romawi. Maka, dalam upaya mempertahankan Kerajaan Mesir, ia tempuh segala cara agar tidak dikuasai Kekaisaran Romawi. Namun, ia sadar bahwa di dalam usahanya tersebut ia juga telah melakukan kesalahan. Hal itu membuat kedudukan Mesir semakin terjepit dan kursi kekuasaannya pun terancam roboh. Sementara benteng pertahanannya pun rentan dijebol. Walhasil, ia pun memilih jalan pintas untuk mengakhiri kekuasaannya dengan cara yang tragis. Itu dilakukan agar Kekaisaran Romawi tidak memiliki catatan tentang penaklukan terhadap dirinya dan kerajaannya.
Jadi, sekalipun pada akhirnya Kekaisaran Romawi berhasil menguasai Mesir, namun kisah penaklukan terhadap kepemimpinan Cleopatra bisa dibilang tidak pernah ada. Yang ada, Cleopatra memilih mengakhiri hidupnya di dalam istananya dengan cara bunuh diri.
Dua nama pengarang Muslim yang menuliskan kisah fenomenal tentang Cleopatra itu adalah Ibn 'Abd Al-Hakam dan Abū l-Ḥasan ʿAlī ibn al-Ḥusayn al-Masʿūdī. Ibn ‘Abd Al-Hakam adalah pengarang berkebangsaan Mesir yang menuliskan kisah Cleopatra, setelah 150 tahun Mesir di bawah kendali kepemimpinan Islam. Sementara Abū l-Ḥasan Alī ibn al-Ḥusayn al-Masʿūdī, adalah seorang ahli sejarah dan geografi kelahiran Baghdad (283H/895M) dan meninggal di Fusat, Mesir (345H/956M). Al Mas’udi masih segaris keturunan dengan Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat Rasulullah.
Dua pandangan yang berbeda ini memberikan kita banyak pelajaran berharga. Terutama berkenaan dengan sikap bijaksana para ahli sejarah Islam. Keduanya, menunjukkan sikap yang mau “mikul dhuwur, mendhem jero”. Artinya, segala yang tergali dari sejarah, semestinya yang baiklah yang diambil untuk diajarkan dan diamalkan. Sementara yang buruk, cukuplah menjadi pengetahuan tanpa harus turut menjelek-jelekkan yang sudah lewat.
Kalaupun kita memiliki cukup pengetahuan tentang hal-hal buruk dari masa lalu, mestinya kita tempatkan sebagai bagian dari ikhtiar kita untuk mengoreksi diri kita. Mengevaluasi diri kita, agar kita tidak sampai mengulangi perihal yang sama. Atau sekurang-kurangnya menjadi semacam peringatan agar kita siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi di masa yang akan datang.
Selain itu, dengan cara yang dilakukan oleh kedua ahli sejarah Islam ini, kita mendapatkan pemahaman, bahwa menghargai masa lalu itu lebih utama dibandingkan memberikan gambaran buruk atas masa lalu. Sebab, dengan cara ini pula, sikap optimis dapat dibangun demi mewujudkan peradaban yang jauh lebih baik dan lebih maju.
Wallahu a’lam bish-shawab,
Editor : Ribut Achwandi