get app
inews
Aa Read Next : 3 Tokoh Pahlawan Termasyhur pada Masa Kerajaan Islam Nusantara

Ternyata Douwes Dekker Itu Keturunan Orang Pekalongan!

Selasa, 16 Agustus 2022 | 04:57 WIB
header img
Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) bersama Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) saat menghadiri sidang KNIP di Malang tahun 1947. DD berjas dan berdasi, sementara Ki Hajar Dewantara berkacamata.

PEKALONGAN, iNewspantura.idKid jaman now mungkin tak begitu mengenal sosok Indo-Eropa yang satu ini. Namanya, Douwes Dekker atau dikenal juga dengan nama Danudirja Setiabudi. Meski di dalam tubuhnya mengalir darah Eropa, namun ia sangat mencintai tanah kelahirannya, Indonesia. Bahkan, ia turut berjuang pula untuk kemerdekaan tanah kelahirannya.

Pria kelahiran Pasuruan, 8 Oktober 1879 inilah yang kemudian melahirkan pemikiran tentang nasionalisme Indonesia. Lewat tulisan-tulisannya, ia kerap mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Menurutnya, kebijakan tersebut menjadi bukti jika pemerintah Hindia Belanda saat itu bersikap tidak adil kepada kaum pribumi.

Penggunaan istilah inlander oleh kalangan elite Hindia Belanda untuk menyebut bangsa pribumi, memperlihatkan cara pandang yang rasis terhadap bangsa pribumi. Inlander, berarti budak atau warga kelas dua.

Kritik tajam DD juga menyoal hukum kolonial. Ia menilai, hukum kolonial terlalu diskriminatif. Terutama, terhadap bangsa Indo (campuran Eropa-pribumi). Malah, kritik itu sempat dinyatakannya terang-terang dalam sebuah kesempatan saat ia berpidato.

Ia katakan, “Mengapa menurut undang-undang itu saya dimasukkan dalam golongan Eropa, hanya karena saya bernama Douwes Dekker? Tetapi saya dilahirkan di sini, mendapat sesuap nasi di sini, dan juga tidak ada yang lebih saya senangi selain dikubur di sini, di bawah pohon palem.”

Jelas, sikap tersebut memperlihatkan betapa DD merupakan seorang nasionalis sejati. Apalagi risiko yang mesti ditanggung tak main-main. Orang Indo melawan bangsa Eropa. Tentu, hal ini bukan pilihan yang menguntungkannya. Sebaliknya, justru akan menarik dirinya ke dalam bahaya.

Tetapi, sudah menjadi wataknya. Sejak awal kemunculannya, DD menuliskan kritik pertamanya terhadap pemerintah Hindia Belanda lewat tulisannya di koran. Judul tulisannya pun tak main-main. Yaitu, Cara Bagaimana Belanda Paling Cepat Kehilangan Tanah Jajahannya? yang dimuat di Nieuwe Arnhemsche Courant (1908).

Selain itu, ia juga yang mulai menggemakan semboyan Indie los van Holland (Indonesia lepas dari negeri Belanda). Ia menyuarakan kepada sesama kaum Indo-Eropa utuk tidak menyebut diri sebagai orang Eropa. “Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier! Aku seorang Indo, aku bangsa Indonesia,” seru DD.

Benar-benar, ia adalah seorang “pembangkang” bagi pemerintah Hindia Belanda. Penjara dan pengasingan menjadi santapan yang sudah sangat ia hafal. Namun, ia pantang menyerah begitu saja. Malah, perlawanannya makin membesar. Terlebih, ketika ia membentuk Tiga Serangkai bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Tetapi, tahukah Anda, bahwa ternyata ibu dari DD yang berdarah campuran Jawa-Jerman adalah seorang wanita kelahiran Pekalongan? Namanya, Louisa Margaretha Neumann.

Lahir di Pekalongan, 2 Maret 1844. Ia putri dari pasangan Maur Neumann (berkebangsaan Jerman) dan wanita Jawa asal Pekalongan yang namanya hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, beberapa sumber menyatakan, nama wanita itu adalah Sahia.

Dengan begitu, nenek DD adalah asli orang Pekalongan. Begitu pula ibunya, adalah orang Pekalongan, berdasarkan asas ius soli (status kependudukan/kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir).

Berdasarkan pelacakan pohon keluarga, ayah Louisa Neumann merupakan tokoh terkemuka sewaktu tinggal di Pekalongan. Ia adalah seorang saudagar Eropa yang memiliki sebuah toko dan menguasai tanah pertanian.

Sementara, data tentang ibu dari Louisa Neumann tak banyak ditemukan. Hanya ada yang menyebutkan, jika ia adalah istri kedua dari Maur Neumann.

Pernikahan Louisa Neumann dengan sorang bankir Belanda, Auguste Henri Edouard Douwes Dekker terjadi pada tanggal 27 Februari 1875 di Surabaya. Saat itu, dia berusia 30 tahun (sumber lain menyatakan usianya 24 tahun). Auguste Henri Edouard Douwes Dekker merupakan anak Jan Douwes Dekker dan Louise Marie Elize Adolphine Bousquet. Pamannya, adalah penulis terkenal Eduard Douwes Dekker, penulis Max Havelaar.

Tampaklah, bahwa di dalam darah Douwes Dekker mengalir darah para “pembangkang”. Ayahnya, bahkan pernah membela Multatuli karena tudingan orang-orang Eropa atas bukunya, Max Havelaar. Ibunya, juga merupakan orang yang telaten membacakan karya-karya sastra. Hampir setiap malam, saat DD kanak-kanak, Louisa Neumann selalu membacakan cerita-cerita itu padanya.

Kisah-kisah yang dibacakan sang ibu membuatnya terinspirasi dan mendapatkan banyak pelajaran penting tentang rasa kemanusiaan dan keadilan.

Editor : Ribut Achwandi

Follow Berita iNews Pantura di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut