Sejarah perniagaan telah menjadi bagian penting dari sejarah peradaban manusia. Sebagaimana yang terdokumentasi dalam Jalur Sutera dan Jalur Rempah, dinamisasi peradaban manusia sangat dipengaruhi oleh pertukaran dan persilangan budaya lewat perniagaan. Begitu pula yang terjadi pada sistem perniagaan modern. Peradaban manusia berubah demikian cepat. Bahkan, tidak jarang mesti menempuh jalan yang jauh dari kata damai. Semua itu juga dipengaruhi oleh perniagaan.
Tetapi, sejak kapan perniagaan dunia dimulai? Para ahli sejarah dan ekonomi bisa saja berdebat panjang. Ada yang menyebut perniagaan jarak jauh sudah ada sejak 150.000 tahun silam. Ada juga yang menyatakan, mulai 30.000 tahun lalu. Perbedaan pandangan ini menunjukkan betapa sejarah perniagaan memiliki kerumitan-kerumitan. Apalagi dengan jejaring yang demikian luas.
Untuk itu, riset mengenai sejarah perniagaan masih membuka peluang luas untuk dilakukan. Masih memungkinkan pula bagi penggalian catatan-catatan masa lalu yang bisa diambil dari berbagai sumber.
Dalam tradisi keilmuan Islam, Al-Qur'an merupakan sumber utama yang sangat penting untuk diteliti. Terlebih, di dalamnya banyak terkandung kisah-kisah lampau. Mulai dari sejarah penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, hingga sejarah peradaban manusia. Dari kisah-kisah lampau itu, tradisi keilmuan Islam terus menggali kisah tentang perilaku-perilaku manusia. Sehingga, umat Islam memperoleh banyak informasi dan pengetahuan tentang bagaimana kehidupan manusia yang selayaknya.
Tak salah jika kemudian para ilmuwan Islam menyajikan thesisnya dengan menyatakan bahwa kisah lampau memiliki kaitan erat dengan masa kini dan masa depan. Ketiganya adalah paket yang mesti dibaca secara utuh. Terutama, untuk bekal di kehidupan kelak di akhirat nanti.
Ibnu Khaldun, dalam kitab Muqadimah yang masyhur itu menuliskan, mempelajari sejarah, pada hakikatnya kita akan dituntun dan dituntut untuk senantiasa melakukan obvservasi (nazhr) yang diharapkan akan mendukung upaya kita menemukan kebenaran (tahqiq), serta keterangan mendalam tentang sebab dan asal benda wujud, serta pengertian dan pengetahuan mengenai substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.
Hal serupa juga diungkapkan Syekh Muhammad ath-Thahir ibn 'Ashur, dalam kitab Tafsir at-Tahrir wa-at-Tanwir. Ia katakan, mempelajari sejarah memberi kita kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita saat ini. Dengan kata lain, sejarah adalah cermin bagi masa kini.
Terlepas dari itu, permulaan dunia perniagaan, sebagaimana diyakini para ahli sejarah ekonomi, terjadi karena didorong oleh rasa saling percaya satu sama lain. Perasaan ini kemudian diejawantahkan ke dalam sistem pertukaran, yang dari masa ke masa terus mengalami perubahan dan penyempurnaan.
Pada tahap awal, perniagaan dijalankan dengan menggunakan sistem barter. Namun, atas daya kreasi manusia, sistem itu disempurnakan dengan menggunakan sistem uang. Dimulai dengan penggunaan jelai (alat tukar yang tertua di dunia dan berlaku di bangsa Sumeria, sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi).
Seiring perkembangan zaman, uang mengalami perubahan. Tidak hanya jelai, cangkang pun digunakan. Penggunaan cangkang dianggap lebih baik pada masa itu, karena tidak mudah membusuk. Perkembangan lain juga terus terjadi. Bentuk uang kemudian lebih bervariasi. Mulai dari kulit binatang, garam, logam emas dan perak, hingga seperti yang sekarang ini.
Penentuan sistem alat tukar ini tidak lain merupakan hasil dari kesepakatan bersama di antara sesama manusia. Namun, pertimbangan utamanya adalah kesetaraan nilai antara barang dengan nilai uang. Dengan begitu, semua pihak tidak merasa dirugikan.
Namun begitu, perniagaan tak sekadar bagaimana membuat sistem pertukaran. Ada hal lain yang lebih penting dari sistem alat tukar itu. Yaitu, perilaku manusianya dalam berniaga.
Seperti dituturkan pengasuh Majelis Taklim Al Maliki, K.H. Saifudin Amirin, perilaku manusia akan sangat memengaruhi kehidupannya, dalam segala hal. Tidak terkecuali dalam menjalankan bisnis/berniaga. Karena, inti ajaran Islam adalah bagaimana seseorang mampu membangun dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan akhlaknya.
Melalui tuturannya yang kalem, K.H. Saifudin Amirin mengisahkan sebuah riwayat. Suatu ketika, Rasulullah menegur seorang sahabat yang murung. Wajahnya tampak kusut. Beliau berkata, "Wahai saudaraku, wajahmu tampak kehilangan cahaya. Kemana kau sembunyikan senyumanmu? Aku ingin sekali melihat kau tersenyum, seperti hari-hari biasanya."
"Ya Rasul, sungguh tak ada maksudku untuk tidak sopan di hadapanmu. Maka, maafkanlah sikapku ini," balas sahabat itu.
Sambil tersenyum, Rasulullah kemudian menyahut, "Sesungguhnya, aku hanya ingin mengingatkanmu, tak baik bagi seseorang menunjukkan perasaan nelangsa di hadapan orang lain. Itu akan melemahkan dirimu sendiri dan akan membuat orang lain bisa berlaku tidak baik padamu. Sekarang, katakanlah beban apa yang membuat punggungmu terasa berat, wahai saudaraku?"
Pertanyaan itu tak segera ditanggapi. Sahabat itu agak ragu-ragu menyampaikan keluh kesahnya. Takut jika itu justru akan mempermalukan dirinya. Tetapi, lekas-lekas keraguan itu ditanggalkan.
Lalu, pelan-pelan ia mulai bicara, "Begini, ya Rasul. Cukup lama aku menekuni dunia perniagaan. Aku juga telah menjelajah dari kota ke kota untuk melangsungkan usahaku ini. Tetapi, seiring waktu, usaha niaga yang aku jalankan ini bukannya menghasilkan keuntungan. Kian hari, usahaku kian terpuruk. Tidak hanya rugi, malah saat ini aku terancam bangkrut. Benar-benar aku mengalami hari-hari yang berat."
Di saat sahabat itu menjelaskan keadaannya, ia merasa sangat terheran. Bayangan yang semula menakutkan, karena ia merasa akan dipermalukan oleh keluh kesah itu, tak tampak pada diri Rasulullah. Malahan, sikap Rasulullah menunjukkan sebagai seorang pendengar yang baik, seorang sahabat yang mau mengerti. Beliau menyimak baik-baik setiap kata dan berusaha memahami apa yang dirasakan orang yang ada di hadapan beliau.
"Untuk itulah, aku kemari. Berharap ada setitik cahaya terang yang bisa aku petik dari kebijaksanaan ucapanmu, ya Rasul," pinta sahabat itu kepada Rasulullah .
Sebelum menjawab, Rasulullah mengajukan pertanyaan kepada sahabat itu, "Jika boleh aku tahu, apa yang kau dagangkan, saudaraku?"
"Gandum, ya Rasul," jawab sahabat itu meyakinkan.
Rasulullah tak lekas menjawab. Beliau memperhatikan tingkah sahabat yang duduk di hadapan beliau itu. Lalu, beliau sampaikan saran agar ia memantapkan timbangannya. Jika perlu berilah kelebihan kepada setiap pembeli.
Dari kisah itu, K.H. Saifuddin Amirin menguraikan, bahwa saran Rasulullah tentu saja akan bertolak belakang dengan nalar yang umum. Secara awam, memberi imbuh (kelebihan) tidak mungkin akan mendatangkan keuntungan bagi usaha kita. Bisa-bisa cara semacam itu akan membuat usaha yang dijalankan semakin cepat menuju pada kebangkrutan.
Memang, secara sepintas, cara itu akan dipandang tidak menguntungkan. Akan tetapi, melalui anjuran itu Rasulullah bermaksud menyampaikan, jika seorang pedagang mesti pandai-pandai memikat hati calon pembelinya. Tentu, dengan cara-cara yang benar dan baik. Ungkapan imbuh tidak semata-mata melebihkan timbangan. Akan tetapi, ada yang lebih diutamakan. Yaitu, berupa akhlak mulia melalui cara yang dilakukan saat melayani pembeli, yang membuat merasa nyaman dan senang.
Mulai dari penampilan yang baik. Wajah yang dipenuhi senyum ramah. Tidak segan-segan untuk berkomunikasi dengan baik dan cerdas. Menunjukkan semangat dan etos yang tinggi di hadapan pembeli. Tidak memonopoli. Juga bersikap melayani dan menghindari perdebatan dengan pembeli saat tawar-menawar harga. Sementara keuntungan, pungutlah secukupnya. Tidak terlalu banyak, juga tidak terlalu sedikit.
Cara-cara itu, apabila dilakukan dengan kesungguhan, insya Allah akan mendatangkan berkah. Selain itu, dalam istilah marketing masa kini, cara itu akan menaikkan citra diri pedagang atau personal image branding. Namun, perlu ditekankan pula, bahwa kegiatan ekonomi sejatinya mesti dilandasi nilai rasa. Dengan begitu, etika atau akhlak pun akan terjaga.
Sebagai catatan, selain sebagai bagian dari cara memperoleh penghasilan, berniaga pada dasarnya merupakan sarana manusia untuk saling mengenal satu sama lain. Melalui perniagaan, seseorang akan memiliki kesempatan untuk menambah jalinan pertemanan dan persaudaraan. Dengan begitu, akan ada banyak peluang pula untuk menjalin kerja sama di antara sesama.
Sebab, prinsip dasar ekonomi adalah mengupayakan persebaran kesejahteraan di antara umat manusia melalui usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan demikian, ekonomi bukan sekadar menghitung laba dan rugi. Melainkan, mengupayakan terwujudnya tatanan yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja, baldatun thayyibun wa rabbun ghafur.
Editor : Ribut Achwandi