PEKALONGAN, iNewsPantura.id - Sumber pemikiran, sifat dan karakter Khawarij dikutip dari Kajian Habib Muhammad bin Yahya Pekalongan awalnya dari seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim. Awalnya dia telah menuduh Rasulullah Muhammad tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang, ucapannya membuat Umar bin Khatab hendak memenggal lehernya, akan tetapi dicegah oleh Rasulullah Muhammad.
Ciri khas Khawarij lainnya adalah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin.
Ketika Dzul Kuwaishirah menghardik Rasulullah dengan kaya "idil" (adil) ya Muhammad, kemudian dia berbalik arah, Nabi saw bersabda :
"Sesungguhnya akan lahir dari orang ini suatu kaum yg membaca Al-Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongannya, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka terlepas dari Islam sebagaimana anak panah yg terlepas dari busurnya. Kalau aku menjumpai mereka sungguh akan aku perangi mereka sebagaimana memerangi kaum ‘Ad."
Dalam hadits tersebut juga disebutkan tentang terawangan Rasulullah yg menyatakan bahwa Dzul Khuwaishirah kelak akan mempunyai kawan-kawan yg ahli ibadah sehingga shalat dan puasa mereka jauh melampaui shalat dan puasa sahabat-sahabat besar saat itu. Penerawangan Rasul tersebut terbukti benar tatkala sejarah mencatat bahwa Dzul Khuwaishirah bergabung dengan para Khawarij yg memberontak terhadap Khalifah Ali dan akhirnya terbunuh di dalam perang Nahrawan.
Kita awali.... Ibnu Abbas adalah "putera dari paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim". Sejak kecil, Ibnu Abbas memang gemar menuntut ilmu. Suatu waktu Rasulullah mendoakan Ibnu Abbas,
“Ya Allah, berilah ia pengertian dalam bidang agama dan berilah ia pengetahuan takwil (tafsir).”
Mendapat keberkahan doa Rasulullah ini, akhirnya Ibnu Abbas pun dikenal sebagai seorang ahli tafsir. Selain itu Ibnu Abbas juga banyak meriwayatkan hadits, yakni terbanyak kelima setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ummul Mukminin Aisyah.
Al kisah kita awali kepiawaian Ibnu Abbas dalam berhujjah dengan Khawarij.
Dalam sebuah wasiatnya Rasulullah bersabda :
"Maka sungguh, siapa yg hidup di antara kalian akan menyaksikan perselisihan yg banyak, maka wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah al Khulafaur (4 khalifah) yg mendapat bimbingan dan petunjuk, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan geraham² kalian.”(HR. Ibnu Majjah).
Nasihat ini ternyata tidak dihiraukan oleh orang² yg mengikuti hawa nafsunya, kaum Khawarij misalnya.
Meski mereka orang yg rajin ibadah, tekun berzikir bahkan jidat-jidat mereka hitam terluka karena banyaknya shalat malam, namun tatkala jalan yg mereka tempuh "bukan" jalan sahabat Rasulullah salaf (pendahulu umat ini).
Pasca-arbitrase (perundingan pihak Ali dan Muawiyyah), Ali dan pasukannya memasuki kota Kufah sedangkan Khawarij menuju Harura’. Pimpinan mereka adalah Abdullah bin al-Kawa’, Itab bin al-A’war, Abdullah ar-Rasibi, Urwah bin Jarir, Yazid bin Ashim dan
Hurqush bin Zuhair. Jumlah mereka sekitar 12.000 orang. Mereka eneriakkan jargon “tidak ada hukum kecuali milik Allah” sebagai bentuk perlawanan pada arbitrase yg dianggap menjadikan manusia sebagai penentu hukum. Mereka adalah para ahli ibadah yg sayangnya merasa lebih paham agama daripada Ali bin Abi Thalib sehingga sulit disadarkan.
Rentetan peristiwa tarikh adalah mata rantai-mata rantai bersambung yg tak terpisahkan. Wafatnya Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dalam keadaan syahid dan terzalimi adalah bagian dari akibat buruk pemahaman Khawarij yg jauh dari sahabat Rasulullah.
Tarikh merekam bagaimana Ibnu Abbas dapat membuat sekitar 8000 pengikut khawarij bertaubat setelah mendengar tafsiran dari Ibnu Abbas
Ibnu Abbas berkata :
“Ketika Khawarij memisahkan diri, menempati daerah Ray (lembah) dipingir sungai Efrat, saat itu jumlah mereka lebih kurang 12.000 orang . Mereka sepakat untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Berkata Ibnu Abbas, “Maka ketika itu tak henti-hentinya kaum muslimin terus berdatangan kepada beliau dan berkata: ‘Wahai Amirul Mu’minin (bc : Ali ra) sesungguhnya mereka telah memberontak kepadamu.”
Maka Khalifah Ali berkata: “Biarkan mereka dulu yg memerangiku dan aku yakin mereka akan melakukannya.”
Maka pada suatu hari aku (lbnu Abbas) menemui Ali di waktu shalat Dzuhur dan kukatakan kepadanya:
“Wahai Amirul Mu’minin, segerakanlah shalat, karena aku akan mendatangi dan berdialog dengan mereka khawarij.”
Maka Ali berkata: “Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu.”
Aku katakan: “Jangan khawatir, aku seorang yg berbudi baik dan tidak akan menyakiti siapapun.”
Maka beliau mengizinkanku. Kemudian aku memakai kain yg bagus buatan Yaman dan menyisir. kemudian aku temui mereka di tengah hari. Ternyata aku mendatangi suatu kaum yg belum pernah aku lihat kehebatan mereka dalam beribadah. Dahi mereka menghitam karena banyak sujud, tangan-tangan mereka kasar seperti lutut onta, mereka memakai gamis murah dalam keadaan tersingsing. Wajah mereka pucat karena banyak beribadah di waktu malam. Kemudian aku ucapkan salam kepada mereka.
Mereka (khawarij) berkata : “Selamat datang wahai Ibnu Abbas, ada apakah kiranya?”
Aku (lbnu Abbas) berkata: “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta dari sisi menantu Rasulullah yakni Ali Bin Abi Thalib. Al Qur’an turun kepada mereka dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya daripada kalian”.
Maka sebagian berkata kepada yg lainnya : “Jangan kalian berdebat dengan orang Quraisy, karena Allah telah berfirman : "Sebenarnya mereka adalah kaum yg ahli dalam berdebat" (QS. Az Zukhruf : 58).”
Namun ada beberapa orang dari "mereka" yg berkata: “Kami akan tetap berdialog dengannya.”
Maka aku (Ibnu Abbas) katakan kepada mereka : “Sampaikanlah alasan apa yg membuat kalian benci kepada menantu Rasulullah serta kaum Muhajiirin dan Anshar. Yang kepada merekalah Al Qur’an turun. Tidak ada seorang pun dari mereka yg ikut bersama kelompok kalian. Mereka adalah orang yg lebih tahu tafsir Al Qur’an".
Mereka berkata: “Ada tiga hal.”
Aku berkata : “Apa itu?”
Mereka berkata : “Pertama, Dia Ali bin Abi Thalib berhukum kepada manusia dalam perkara agama Allah, padahal Allah telah berfirman:
‘Sesungguhnya keputusan hukum hanyalah hak Allah. (Qs Al An’am : 57, Yusuf : 40,67).
Maka apa gunanya keberadaan orang² itu sementara Allah sendiri telah memutuskan hukumnya?!”
Aku berkata : “Ini yg pertama, kemudian apa lagi?”
Mereka berkata: “Kedua, Dia Ali bin Abi Thalib telah berperang dan membunuh, tetapi mengapa dia tidak mau menjadikan wanita mereka -kaum yg diperanginya- sebagai tawanan perang dan mengambil hartanya sebagai ghanimah (rampasan perang unta fihak
Ali ra dan Umulmukminin Sayyidah Aisyah ra)? Jika mereka memang masih tergolong kaum mu’minin, maka tidak halal bagi kita untuk memerangi dan menawan mereka.”
Aku berkata: “Apa yg ketiga?”
Mereka berkata: “Ali telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mu’minin -pemimpin kaum mu’min-, maka kalau dia bukan Amirul Mu’minin berarti dia adalah Amirul Kafirin -pemimpin orang² kafir-.”
Aku berkata: “Apakah ada selain ini lagi?”
Mereka menjawab: “Cukup ini saja.”
Aku menjawab: “Adapun ucapan kalian tadi, bahwa Dia (Ali ra) berhukum kepada manusia dalam memutuskan hukum Allah,- akan aku bacakan kepada kalian sebuah ayat yg akan membantah argumen kalian. Jika argumen kalian telah terpatahkan, apakah kalian akan rujuk?”
Mereka berkata: “Tentu.”
Aku berkata: “Sesungguhnya Allah sendiri telah menyerahkan hukum Nya kepada beberapa orang tentang seperempat dirham harga kelinci, dalam ayatNya: ‘Hai orang² yg beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yg dibunuhnya, menurut putusan dua orang yg adil di antara kamu’ (Qs al Ma’idah : 95).
Juga terkait dengan hubungan seorang isteri dengan suaminya: "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.’ (Qs An Nisaa’ 35).
Maka aku sumpah kalian dengan nama Allah, manakah yg lebih baik kalau mereka berhukum dengan hukum manusia untuk meperbaiki hubungan antara mereka -Ali dan Mu’awiyah dan pengikutnya masing-masing- dan menghindarkan dari terjadinya pertumpahan darah, ataukah yg lebih utama berhukum pada manusia sekedar urusan harga seekor kelinci atau sekadar urusan kemaluan seorang wanita? manakah di antar keduanya yg lebih utama?”
Mereka menjawab: “Tentu saja yg pertama.”
Aku berkata : “Adapun alasan kalian bahwa "Dia" tidak mau menjadikan musuhnya sebagai tawanan dan harta mereka sebagai ghanimah."Apakah kalian menawan ibu kalian Aisyah?
Demi Allah, kalau kalian berkata: ‘Dia bukan ibu kami’, berarti kalian telah keluar dari Islam. Demi Allah, kalau kalian berkata: ‘kami tetap menawannya dan menghalalkannya untuk digauli seperti wanita lainnya -karena jika demikian ibu kita berstatus budak
hukumnya boleh digauli oleh tuannya’ berarti kalian telah keluar dari Islam. Maka kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah telah berfirman: ‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah
ibu-ibu mereka.’ (Qs al Ahzab : 6).
Maka apakah kalian keluar (rujuk) dari kesalahan ini?”
Mereka pun menjawab: “Baiklah.”
Aku berkata: “Adapun alasan kalian bahwa: ‘Dia telah menghapus gelar Amirul Mu’minin dari dirinya.’ Aku akan memberi contoh untuk kalian dengan sosok yg kalian ridhai, yaitu Rasulullah.
Pada perjanjian Hudaibiyyah, beliau berdamai dengan kaum musyrikin, yg diwakili Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin Amr. Beliau Sallallahu Alaihi Wasallam berkata kepada Ali : ‘Tulislah untuk mereka sebuah teks yg berbunyi: ‘Ini adalah sebuah perjanjian yg disepakati oelh Muhammad Rasulullah.’ Maka Kaum Musyrikin berkata: ‘Demi Allah kalau kami mengakuimu sebagai Rasulullah, untuk apa kami memerangimu?!’ Maka beliau Sallallahu Alaihi Wasallam berkata: ‘Ya Allah, engkau lebih tau bahwa aku adalah
RasulMu. Hapuslah kata ‘RASULULLAH’ ini, wahai Ali.’ Dan tulislah: ‘Ini yg disepakati oleh Muhammad bin Abdillah.’
Maka demi Allah tentu Rasulullah lebih mulia dari Ali, tetapi beliau sendiri menghjapus gelar (kerasulan) itu dari dirinya pada hari itu.”
Maka Ibnu Abbas berkata : “Maka bertaubatlah 8000 orang dari mereka, dan selebihnya bersikukuh untuk tetap memberontak. Sebelumnya, mereka menolak adanya tahkim (tawaran damai).
Mereka mulai memprovokasi orang² untuk menentang ‘Ali, sampai², mereka melakukannya di dalam masjid. Dengan lantang mereka berkata: “Tidak boleh ada hukum kecuali hukum Allah.”
Ali menjawab mereka seraya mengatakan : “Perkataan yg benar, tetapi ditujukan untuk kebathilan.”
Setelah itu, kaum Khawarij membunuh seorang Sahabat yg mulia, ‘Abdullah bin Khabbab dan istrinya yg ketika itu sedang hamil tua. Ketika kasus ini sampai kepada ‘Ali, ia mengirimkan surat kepada mereka, isinya :
“Siapa yg membunuh Khabbab?”
Mereka menjawab: “Kamilah semua yg membunuhnya.”
Maka, ‘Ali- pun kemudian keluar menuju tempat mereka dengan pasukan berjumlah 10.000 prajurit, dan menyerang mereka di daerah Nahrawan. Pada peristiwa penumpasan kaum Khawarij dari pihak Ali hanya jatuh korban 7 orang sedangkan dari pihak Khawarij lebih dari 4000 orang mati sia², sebagian taubat, sebagian kecil melarikan diri. Kesemua Khawarij ini terbunuh oleh pasukan Sayyidina Ali di suatu daerah yg bernama Nahrawan hingga tak tersisa kecuali tak lebih dari sepuluh orang saja. Dua di antara mereka lari ke Amman, dua lagi ke Kerman, dua ke Sijistan, dua ke jazirah, dua ke Yaman, termasuk ar Rasibi yg melarkan diri kelak kemudian mendirikan sekte suu' (sesat) wahbiyyah.
Di antara yg terbunuh di Nahrawan ini adalah Dzul Khuwaishirah, Khawarij pertama yg merasa lebih adil dari Nabi Muhammad.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait