BLORA, iNewsPantura.id — Sejumlah petani hutan yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Tirto Tani Kajengan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menggelar aksi protes terhadap Perhutani, Senin (4/11) kemarin.
Mereka menolak rencana pengelolaan kawasan hutan di wilayah mereka melalui skema Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Aksi yang berlangsung di area hutan petak 50 Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Kalonan, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Kalonan, sempat diwarnai ketegangan antara petani dan petugas Perhutani di lapangan.
Petani Klaim Lahan Seharusnya Dikelola KTH
Para petani yang membawa poster dan spanduk bernada protes menegaskan bahwa lahan seluas 15 hektar tersebut bukan bagian dari wilayah kerja Perhutani, melainkan wilayah yang sudah termasuk dalam SK Kementrian Kehutanan Nomor 185 yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu.
Ketua KTH Tirto Tani Kajengan, Sugiyanto, menyebutkan bahwa berdasarkan SK tersebut, pengelolaan kawasan hutan semestinya menjadi hak masyarakat setempat melalui kelompok tani hutan.
"Saya sebagai ketua, dengan tuntutan para pesanggem, atau para petani hutan Tirto Tani Kanjengan tadi, untuk menghentikan apapun pekerjaan Perhutani, karena sudah ada SK 185 yang sudah diserahkan bapak Presiden Jokowi di Kesongo, dan munculnya SK baru Nomor 149 tahun 2025 bulannya lupa saya, bahwa lahan tersebut adalah hutan untuk rakyat bukan untuk Perhutani", kata Sugiyanto. Senin (3/11) kemarin.
Perhutani : Pengelolaan Sudah Berjalan Sejak 2022
Terpisah, Administrator Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blora, Yeni Ernawingsih, saat ditemui di Kantornya, Selasa (4/11) menyayangkan adanya aksi yang dilakukan oleh KTH tirto Tani Kanjengan itu, yang seharusnya bisa diselesaikan dengan diskusi.
Menurutnya, pengelolaan kawasan hutan di petak 50 RPH Kalonan telah dikelola oleh Perhutani sejak tahun 2022, untuk program agroforestri yang sudah berjalan bahkan sebelum SK 185 diterbitkan.
“Lahan di petak 50 itu memang sudah masuk program agroforestry tebu mandiri (ATM) sejak 2022. Jadi pengelolaan Perhutani sudah berlangsung lebih dulu,” jelas Yeni.
Ia menambahkan, jika mengacu pada SK 487, pengelolaan kawasan yang dimaksud dapat dilakukan melalui skema kemitraan antara Perhutani dan KTH, karena wilayah tersebut tergolong sebagai lahan kemitraan kehutanan, bukan hutan kemasyarakatan murni.
“Kami terbuka untuk bekerja sama. Tidak ada niat menutup ruang bagi masyarakat, tapi pengelolaan harus sesuai regulasi yang berlaku,” tegasnya.
Yeni menambahkan, Jika lahan itu sudah masuk SK 149, Perhutani akan melepasnya, namun sesuai aturan masih dikelola perhutani sampai dengan daur kurang lebih enam tahun untuk pengelolaan kawasan tebu di petak tersebut.
Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) merupakan kebijakan pemerintah pusat untuk mempercepat pemerataan ekonomi dan redistribusi akses kelola hutan bagi masyarakat.
Namun, di sejumlah daerah, termasuk Blora, kebijakan ini kerap menimbulkan perbedaan tafsir dan gesekan antara petani hutan dan Perhutani terkait batas kewenangan serta model pengelolaannya.
Harapnnya kepada Pemerintah pusat melalui Kementrian Kehutanan agar segera memperjelas pemetaan lahan Perhutani yang masuk dalam KHDPK ataupun hutan rakyat, agar dilapangan tidak terjadi gesekan antara masyarakat hutan dengan petugas Perhutani yang ada dilapangan.
Editor : Suryo Sukarno
Artikel Terkait
