SECARA UMUM kurban sunnah dan kurban wajib memiliki beberapa titik kesamaan, misalnya dari segi waktu pelaksanaan, keduanya dilaksanakan pada hari Nahar dan hari-hari tasyriq (10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Bila dilakukan di luar waktu tersebut, maka tidak sah sebagai kurban.
Diketahui syarat berniat ketika menyembelih atau menentukan hewan yang ingin dijadikan kurban menjadi sangat vital. Misalnya : Orang yang akan berkurban melafazkan “ Saya niat kurban sunnah “ berbeda jika ia mengatakan dalam hatinya : “ Saya berniat kurban “ saja, maka jatuhnya adalah menjadi wajib dan haram ia memakan dagingnya, menurut pendapat ulama salaf.
Tata cara menyembelih mulai dari syarat, rukun dan kesunnahan juga tidak berbeda antara dua jenis kurban tersebut. Keduanya menjadi berbeda dalam empat hal sebagai berikut dikutip dari kajian Habib Muhammad bin Yahya Cirebon:
Pertama, hak mengonsumsi daging bagi mudlahhi (pelaksana kurban).
Dalam kurban sunnah, diperbolehkan bagi mudlahhi untuk memakannya, boleh mengambil sampai tidak melebihi seperti bagian. Dua pertiga sisa nya: disedekahkan (kepada fakir miskin) dan sebagai hadiah (kepada selain fakir miskin).
Adapun yang lebih utama adalah memakan beberapa suap saja untuk mengambil keberkahan dan menyedekahkan sisanya.
Sedangkan kurban wajib, mudlahhi haram memakannya, sedikit pun tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi secara pribadi. Keharaman memakan daging kurban wajib juga berlaku untuk segenap orang yang wajib ditanggung nafkahnya oleh mudlahhi, seperti anak, istri, dan lain sebagainya.
Kedua, kadar yang wajib disedekahkan.
Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal yang wajib disedekahkan dalam kurban sunnah adalah kadar daging yang mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu kantong plastik daging.
Sedangkan kurban wajib, semuanya harus disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali, tidak diperkenankan bagi mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk memakannya. Demikian pula tidak diperkenankan diberikan kepada orang kaya. Daging yang diberikan juga disyaratkan harus mentah.
Ketiga, pihak yang berhak menerima.
Seperti yang telah disinggung di atas, kurban wajib hanya berhak diterima fakir/miskin, mudlahhi dan orang kaya tidak berhak menerimanya. Semuanya meliputi daging, kulit, tanduk dan Sebagainya wajib disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali. Bila ada bagian kurban yang distribusinya tidak tepat sasaran, maka wajib mengganti rugi untuk fakir/miskin.
Sementara untuk kurban sunnah, boleh diberikan kepada orang kaya dan fakir/miskin. Hanya saja, terdapat perbedaan hak orang kaya dan miskin atas daging kurban yang diterimanya. Kurban yang diterima fakir/miskin bersifat tamlik, yaitu memberi hak kepemilikan secara penuh. Kurban yang ia terima boleh dijual, dihibahkan, disedekahkan, dimakan dan lain sebagainya.
Sedangkan hak orang kaya atas daging kurban yang diterimanya hanya untuk tasaruf yang bersifat konsumtif. Orang kaya hanya boleh memakan dan memberikannya kepada orang lain hanya untuk dimakan, semisal disuguhkan kepada para tamu. Mereka tidak diperbolehkan menjual, menghibahkan, dan tasaruf sejenis yang memberikan kepemilikan utuh terhadap pihak yang diberi.
Adapun pengertian orang kaya dalam bab ini adalah setiap orang yang haram menerima zakat, yaitu orang yang memiliki harta atau usaha yang mencukupi kebutuhan sehari-hari, baik untuk dirinya atau keluarga yang wajib ia nafkahi. Sedangkan fakir/miskin sebaliknya, yaitu orang yang aset harta atau usahanya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, baik untuk diri sendiri atau keluarga yang wajib dinafkahi.
Keempat, niat.
Kurban sunnah dan wajib diperbolehkan untuk disembelih sendiri oleh mudlahhi, boleh pula diwakilkan kepada orang lain. Kedunya sama-sama disyaratkan niat. Niat bisa dilakukan saat menyembelih atau ketika memisahkan hewan yang ingin dibuat kurban dengan hewan lainnya. Niat berkurban boleh dilakukan sendiri atau diwakilkan kepada orang lain.
Adapun perbedaannya terkait dengan lafal niatnya. Contoh niat kurban sunnah yang diniati sendiri:
نَوَيْتُ الْأُضْحِيَّةَ الْمَسْنُوْنَةَ عَنْ نَفْسِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban sunnah untuk diriku karena Allah.”
Contoh niat kurban sunnah yang dilakukan oleh wakilnya mudlahhi:
نَوَيْتُ الْأُضْحِيَّةَ الْمَسْنُوْنَةَ عَنْ زَيْدٍ مُوَكِّلِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban sunnah untuk Zaid (orang yang memasrahkan kepadaku) karena Allah”.
Contoh niat kurban wajib yang diniati sendiri oleh mudlahhi:
نَوَيْتُ الْأُضْحِيَّةَ الْوَاجِبَةَ عَنْ نَفْسِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban wajib untuk diriku karena Allah”
نَوَيْتُ الْأُضْحِيَّةَ الْوَاجِبَةَ عَنْ زَيْدٍ مُوَكِّلِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban wajib untuk Zaid (orang yang memasrahkan kepadaku) karena Allah”.
Editor : Hadi Widodo