get app
inews
Aa Read Next : Elon Musk Tantang Zuckerberg Duel di Atas Ring, Berpotensi hasilkan Rp15 Triliun

Kurikulum Merdeka Belajar Harus Bisa Kawal Eksistensi Moral dari Ancaman Disrupsi

Sabtu, 09 Juli 2022 | 12:29 WIB
header img
ilustrasi : Antara

DISRUPSI yang terjadi di berbagai bidang, pasca revolusi teknologi informasi sepertinya akan merambah bidang lain, tidak hanya dari sektor bisnis dan perilaku perdagangan, namun juga pendidikan.

Istilah disrupsi digunakan untuk menandai perubahan massif yang terjadi akibat revolusi teknologi yang memunculkan tatanan baru, pemain baru, yang kemudian menenggelamkan sistem lama dan pemain lama.

Disrupsi juga memunculkan cara main baru yang dinilai lebih efisian yang kemudian menyebabkan tenggelamnya pemain lama yang tak bisa mengikuti tuntutan konsumen/masyarakat di era digital.

Di Indonesia, fenomena disrupsi sudah dirasakan di beberapa bidang seperti transportasi, perdagangan retail, dan keuangan.Di bidang transportasi muncul perusahaan aplikasi Gojek yang mendisrupsi bisnis transportasi di tanah air. Dibawah pimpinan Nadiem Makarim yang sekarang menjadi  Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi (MendikbudRistekDikti), Gojek memiliki jutaan driver ojek. Padahal Gojek tak mengeluarkan biaya untuk pengadaan jutaan motor.Sebab Gojek hanya bekerjasama dengan mitra driver  yang diwajibkan punya motor sendiri.

Melalui bantuan aplikasi, masyarakat bisa dengan mudah memesan layanan transportasi dimanapun dan bisa membatalkan kapan saja. Selain itu masyarakat juga bisa memberikan penilaian baik atau buruk lewat review bintang jika merasa puas atau dikecewakan.

Gojek yang kemudian menjadi Unicorn dan sekarang menjadi Decacorn dengan valuasi atau nilai bisnis Milyaran Dollar itu telah memberikan solusi atas masalah transportasi selama ini yaitu kemudahan, kenyamanan sekaligus kontrol kualitas. Gojek di satu sisi menenggelamkan dan meruntuhkan bisnis transportasi sebelumnya seperti ojek pangkalan, taxi dan travel.

Disrupsi di Indonesia juga terjadi di bidang retail dengan menjamurnya online shop  seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Blibli dan lainnya, serta  bidang pembayaran dengan munculnya fintech (financial technology) seperti gopay, dana, ovo, shopeepay, dan lain sebagainya. Dampaknya banyak mall yang gulung tikar.

Ancaman disrupsi juga akan merambah ke bidang lainnya termasuk pendidikan. Apalagi serangan pandemi Covid 19 dua tahun, suka atau tidak suka akan mempercepat proses disrupsi.

Jika melihat pola disrupsi di bidang lain, salah satu keywords yang akan menjadi  goal perubahan adalah efesiensi, baik efesiensi tempat, biaya, maupun waktu.Tidak menutup kemungkinan nanti akan muncul aplikasi yang lebih efisien dalam memberikan layanan pendidikan. Saat ini sudah ada Ruang Guru, bimbingan belajar online yang sudah mendisrupsi lembaga kursus dan bimbel konvensional. Tak menutup kemungkinan aplikasi sejenis itu akan berkembang dan mengancam eksistensi sekolah.

Saat pandemi lalu, sekolah mulai "dipaksa" melaksanakan pembelajaran online.Memang banyak sekali masalah yang muncul karena kurang siapnya sekolah atau kampus saat diberlakukan kebijakan pembelajaran daring (dalam  jaringan) gegara ada social distancing.Namun lamban laun, ke depan itu akan jadi kebutuhan kalau tidak bisa dikatakan tuntutan masyarakat/market.

Teknologi juga akan terus berkembang cepat bahkan seringkali melebihi dari yang kita pikirkan. Marx Zuckerberg , pemilik Facebook beberapa waktu lalu sudah melaunching metaverse yang digadang gadang akan menjadi pusat kegiatan manusia pada era mendatang. Melalui rekayasa visual didukung oleh internet supercepat dan artifical intelegence , metaverse akan bisa melayani manusia untuk melakukan berbagai kegiatan seolah-olah kita ada di lokasi tanpa harus beranjak sedikitpun dari posisi kita.

Jika itu benar terjadi dan kegiatan belajar mengajar bisa dilakukan via metaverse  maka akan banyak sekali efesiensi yang dilakukan. Gedung sekolah dan infrastruktur lain yang selama ini menelan biaya tidak sedikit bisa jadi tak akan lagi dibutuhkan.

Namun di sisi lain, tatap muka atau berinteraksi secara langsung bukan hanya untuk keperluan transfer knowledge semata namun juga ada transfer karakter dari mulai kedisiplinan, komitmen mematuhi aturan, berinteraksi sesama siswa atau siswa dan guru, hingga transformasi moral.

Pendidikan karakter seperti itu yang belum terpikirkan akan bisa digantikan oleh aplikasi. Dua tahun pandemi, para guru dan orangtua sudah merasakan ketika anak anaknya melakukan pembelajaran di rumah. Begitu sulitnya mengajarkan disiplin, keteraturan, kehidupan sosial, komitmen, kerja keras, dibandingkan ketika mereka belajar di sekolah.

Pihak Sekolah  kesulitan memberikan penilaian yang komprehensif karena banyak rencana pembelajaran yang akhirya tak bisa ditransformasikan kepada siswa selain mindset pembelajaran juga masih lekat dengan aktivitas tatap muka. Pihak sekolah terutama guru juga kehilangan tanggungjawab moralnya sebagai pendidik yang berkewajiban mentransformasi nilai-nilai moral dan etika selama ini dilekatkan dalam status sosial seorang guru.

Dalam ranah sosiologi, lembaga pendidikan seperti sekolah bukanlah hanya sebatas instrumen yang bisa begitu saja digantikan atau didisrupsi dengan aplikasi. John Lewis Gillin dan John Philip Gillin dalam karyanya berjudul Cultural Sociology: A Revision of An Introduction to Sociology memaparkan bahwa dalam pelembagaan sosial ada beberapa karakter yang dipahami dan disepakati masyarakat yaitu simbol, tata tertib dan tradisi, kekebalan (tak bisa dibangun atau dihilangakn seketika), jangka waktu panjang, ideologi, dan instrumen. Jadi sekolah secara sosiologis termasuk menurut amanat konstitusi, bukan hanya sekedar Produsen Ijazah atau pengetahuan semata, namun lembaga pengawal moral, pendidik generasi yang akan membawa bangsanya ke depan menjadi  bangsa yang lebih berbudi dan beradab.

Maka ketika sekolah benar-benar terdisrupsi oleh aplikasi atau Metaverse dengan logika disrupsi yang selama ini kita lihat, maka akan terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem pelembagaan dan nilai-nilai di masyarakat di masa depan. Banyak nilai-nilai atau pranata yang selama ini diyakini menjadi basis moral atau karakter sekolah ikut tenggelam oleh gelombang disrupsi!

Lalu bagaimana hadirnya Kurikulum Merdeka Belajar yang dirumuskan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim? akankah itu bisa mengawal eksistensi basis moral dan pranata lembaga pendidikan atau justru mempercepat disrupsi?

Kurikulum Merdeka Belajar

Kurikulum Merdeka Belajar adalah kebijakan pengembangan yang dikeluarkan Kemdikbudristekdikti untuk pembelajaran peserta didik di sekolah. Kebijakan merdeka belajar menjadi langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Indonesia yang memiliki Profil Pelajar Pancasila.

Kurikulum ini juga dikenal dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

Dikutip dari laman resmi Kemdikbud RI, ada beberapa impact yang diharapkan dari kurikulum ini yaitu Guru Lebih Leluasa memilih perangkat belajar, siswa dan guru didorong lebih mandiri belajar, berubah dan berbagi. Ada keinginan dari pemerintan untuk mengubah sistem pendidikan menjadi lebih membebaskan, dan meluaskan proses belajar, dari yang sebelumnya hanya berkutat di dalam kelas menjadi keluar, melihat kondisi riil di masyarakat.

Proses pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka Belajar diharapkan juga bisa menghasilkan instrumen yang bisa menjadikan basis moral dan karakter sebagai salah satu konten penting bukan justru meminggirkannya atas nama kebebasan. Prinsip moral juga harus dicarikan instrumen implementasinya sehingga para siswa dan guru sama sama menjadikan itu sebagai salah satu yang prinsipil. Mendapatkan nilai tinggi di rapor dan ijazah itu penting,  tapi bagaimana proses mendapatkannya dengan kerja keras dan kejujuran juga tidak kalah penting.

Jika kurikulum ini bisa konsisten dilaksanakan, dengan persiapan SDM dan dukungan yang memadai, maka siswa akan lebih memiliki pengkayaan dalam proses belajar dan bisa menguatkan juga karakter.

Di sisi yang lain, pengalaman Mas Menteri mendisrupsi bisnis transportasi melalui Gojek diharapkan bisa memberi solusi terhadap masalah efesiensi pendidikan selama ini tanpa harus menenggelamkan lembaga pendidikan atau instrumen yang masih dibutuhkan untuk penguatan karakter. Sukur-sukur, Mas Menteri justru bisa menciptakan instrumen baru  di zaman metaverse nanti yang justru bisa menguatkan karakter dan moral generasi mendatang. Sehingga generasi masa depan benar-benar tak hanya bisa melewati disrupsi namun bisa berjaya dengan fondasi karakter dan moral yang lebih kokoh.

 


Ero Saraswati Asmoro , adalah Guru Sosiologi SMAN 1 Bojong, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah .

 

Editor : Muhammad Burhan

Follow Berita iNews Pantura di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut