get app
inews
Aa Read Next : TP PKK Blado Juara 1 Lomba Busana Batik

Inilah Pengalaman Spiritual Seniman Batik Muda Asal Pekalongan, Tamakun

Kamis, 05 Mei 2022 | 05:33 WIB
header img
Tamakun (berjaket hitam lengan merah) saat sedang berfoto dengan pengunjung Museum Batik di samping motif batik karyanya (sumber: facebook)

PEKALONGAN, iNews – Mumpung masih musim cuti bersama, tidak ada salahnya untuk mengajak keluarga mengunjungi Museum Batik Pekalongan. Di sana, akan Anda saksikan koleksi batik yang beraneka rupa motif. Dari yang klasik sampai yang kontemporer. Dari batik khas Pekalongan maupun daerah-daerah lain, semua ada di sana. Salah satunya, motif batik ikan yang bergaya kontemporer. Motif itu bahkan pernah dipajang di akun resmi media sosial Kedutaan Besar Jepang, beberapa waktu lalu.

Yang menarik dari motif ikan itu adalah komposisi dan teknik pewarnaannya. Boleh dibilang motif ikan yang terpampang di ruang pamer koleksi batik itu mengesankan sebuah lukisan yang naturalis. Terasa hidup betul ikan-ikan pada gambar itu. Apalagi dengan riak-riak air yang tergambar sempurna pada kain.

Adalah Tamakun, pembuat motif batik ikan koi yang saat ini menjadi salah satu koleksi Museum Batik Pekalongan. Ia adalah seniman batik kebanggaan warga Kota Pekalongan. Terlebih, dengan kesibukannya belakangan yang kerap wira-wiri dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Dengan cara itu pula ia mengenalkan seni batik, tak hanya kepada masyarakat Indonesia, melainkan pula di mata dunia.

Kini, namanya layak disejajarkan dengan para seniornya, sekalipun usianya masih cukup muda. Meski begitu, ia adalah pribadi yang sangat rendah hati. Setidaknya, hal itulah yang terungkap dari pengakuannya, bahwa sampai detik ini pun ia masih terus belajar kepada senior-seniornya.

Baginya, menggeluti dunia batik sebagai seni bukanlah hal yang mudah. Berbeda dengan batik sebagai bisnis. Tetapi, apa pun pilihan orang, menurutnya sah-sah saja. “Semua bergantung tujuannya. Setiap orang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam memilih. Tetapi, hal yang tak boleh dilupakan adalah hidayah. Bahwa pilihan itu bisa jadi adalah pengejawantahan dari hidayah yang diperoleh orang tersebut,” ujarnya ramah.

Tamakun sendiri mengaku, di dalam menemukan dunia batik sebagai seni, ia dihadapkan dengan berbagai peristiwa yang membuatnya sempat tercengang. Peristiwa itu dimulai dari lontaran protes yang ramai-ramai dilayangkan masyarakat Indonesia terhadap klaim negeri Jiran atas batik. “Waktu itu, saya bahkan sempat membuat pementasan teater dengan mengambil tema batik. Maunya sih ikut protes juga. Tetapi, selepas pentas itu, seorang penonton dari Korea tiba-tiba mendekati saya dan bertanya tentang seni batik. Saat itu, saya sempat bingung menjawabnya. Tetapi, saya ngiyeng (ngeyel) bahwa batik adalah seni,” kenang Tamakun.

Eyelan Tamakun, sebagaimana diakuinya, rupanya sempat dipatahkan oleh penonton dari Korea yang belakangan diketahui namanya Mr. Yun. Setelah menanyakan apakah batik adalah sebuah seni, Mr. Yun lanjut mengajukan pertanyaan tentang seniman batik di Pekalongan. “Beliau saat itu meminta saya menyebutkan lima nama tokoh seniman batik asal Pekalongan. Dan, ternyata saya tidak bisa menyebutkan nama-nama itu. Ada sih ada, tapi nggak sampai lima nama,” ujar seniman batik itu sambil mengingat-ingat.

Tetapi, menurut Tamakun, sebenarnya bukan jumlah nama yang diinginkan. Mr. Yun, papar Tamakun, hanya ingin menunjukkan bahwa untuk menyebut batik sebagai seni tidak bisa hanya berdasarkan informasi selintas. Sebaliknya, untuk dapat menyebut batik sebagai seni, seseorang mesti mengetahui dan memahami betul bagaimana proses batik itu sendiri hingga menjadi benda seni.

“Saya teringat, dulu waktu berproses di teater, saya sempat didoktrin, bahwa untuk menjadi seorang seniman itu sangat berat. Bahkan, di kalangan seniman itu sendiri. Seperti kata Cak Nun, prosesnya harus dimulai dari menjadi manusia dulu baru menuju ke seninya,” ungkap Tamakun polos.

Dari pertemuannya dengan Mr. Yun inilah akhirnya Tamakun mulai membuka diri. Ia merasa tertantang oleh pertanyaan Mr. Yun. Sampai-sampai ia memilih untuk memasuki dunia yang baginya baru, yaitu seni batik.

Sejak itu, Mr. Yun akhirnya membawa Tamakun ke Salatiga. Bahkan, Mr. Yun mendukung penuh pilihan Tamakun untuk menjadi seorang seniman batik. “Beliau saat itu sampai mengeluarkan uang jutaan untuk saya. Beliau bangunkan saya pranggok (workshop batik) di sana, walau sederhana. Bahkan, order batik pertama itu ya dari beliau. Karena beliau ingin menunjukkan kepada kolega-koleganya di sana tentang apa yang disebut seni batik,” tuturnya.

Selama di Salatiga, Tamakun dengan dukungan Mr. Yun benar-benar menekuni seni batik. Begitu serius ia mempelajari seni batik. Sampai pada suatu ketika, ia mesti dihadapkan dengan pilihan yang menyulitkan dirinya.

“Waktu itu, saya menemui peristiwa yang benar-benar menjadi klimaks. Saya merasa jatuh sejatuh-jatuhnya, hancur sehancur-hancurnya. Saat asyik membatik, saya menerima kabar ayah saya sedang dirawat di rumah sakit. Saya bingung. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi, lagi-lagi saya mengingat doktrin yang saya terima dari guru saya Mas Angger, saat di terater dulu, bahwa pantang hukumnya bagi seseorang yang sedang memproses dirinya untuk berhenti dan meninggalkan proses itu jika tidak benar-benar penting. Lalu, saya lanjutkan membatik,” kenangnya sambil menghela napas.

Akan tetapi, pilihan untuk terus melanjutkan proses membatik itu rupanya membawanya pada situasi yang semakin menyulitkan lagi. “Sore harinya, saya menerima SMS yang mengabarkan ayah saya meninggal dunia. Saya sedih, saya marah, saya kesal saat itu. Tangan saya ndredeg (gemetaran) saat memegang canting. Sampai-sampai saya menyalahkan diri sendiri. Iki semua gara-gara batik! Saya sampai nggak peduli begitu,” terangnya.

Saat itu, ia pun segera menyampaikan kabar kepada Mr. Yun. Bahwa ia ingin berpamitan sebentar untuk pulang, mengantarkan ayahnya ke tempat peristirahatan terakhir. “Mr. Yun sangat memahami kondisi saya saat itu. Tetapi, ia berpesan, apa pun yang terjadi jangan menyalahkan batik. Jangan berhenti membatik, karena kalau berhenti almarhum pasti juga akan kecewa,” tuturnya.

Tak ada pilihan lain, Tamakun pun melanjutkan proses membatiknya. Meski dalam situasi gundah gulana, ia terus saja membatik. “Tetapi, dari peristiwa itu saya akhirnya menemukan sebuah pelajaran berharga bagi saya. Bahwa membatik adalah bentuk kepasrahan kepada Tuhan, karena di dalam membatik ada untaian zikir yang sangat dalam rasanya. Bahwa untuk sampai pada bentuk yang utuh, manusia pun harus menyadari akan arti kehilangan,” kenangnya.

Itulah mengapa, dalam pandangan Tamakun mengatakan, bahwa untuk menuju pada sebuah bentuk yang utuh, seseorang mesti menemui peristiwa-peristiwa puncaknya terlebih dahulu. Peristiwa yang penuh sensasi. Peristiwa yang mengaduk-aduk perasaan. Sampai pada akhirnya, ia mampu membuka pintu bagi kehidupannya yang lebih baik. “Seni itulah yang menyelamatkan hidup saya. Seni itulah yang membawa saya pada pengalaman spiritual yang sangat dalam,” pungkas Tamakun.

Editor : Ribut Achwandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut