Dengan segala ibadahnya yang menurutnya hebat itu, Ibnu Muljam merasa lebih Islami dari Ali. Lebih beragama dari Amirul Mukminin.
Ibnu Muljam mengkafirkan Ali. Menuduh Ali tidak berpegang pada hukum Allah. Lantas lelaki tukang ibadah tetapi bebal itu merasa berhak untuk menumpahkan darah Ali.
Ibnu Muljam menista keluasan ilmu Imam Ali dengan kedangkalan pikirannya. Padahal Rasulullah yang mulia pernah berkata kepada Ali, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik”.
Tiga hari setelah peristiwa itu, Imam Ali syahid. Peribadi agung itu wafat akibat tebasan pedang seorang yang mengaku muslim. Ali dibunuh oleh orang yang mengaku ingin menegakkan hukum Allah.
Peristiwa tersebut adalah salah satu tragedi yang paling memilukan dalam sejarah Islam. Dari tangan Ibnu Muljam, cahaya agama ingin dimatikan.
Ideologi Ibnu Muljam adalah ideologi yang menganggap orang yang tidak sepemikiran dengannya sebagai kafir. Orang yang berbeda dengannya adalah sesat. Karena itu wajib dibinasakan.
Orang seperti Ibnu Muljam selalu berteriak, “berpeganglah pada hukum Allah.” Untuk menghardik siapa saja yang berbeda dengannya.
Padahal maksudnya, hukum Allah menurut versinya sendiri. Hukum Allah yang ditafsirkannya sendiri.
Orang-orang pandir itu merasa keluasan kitab suci bisa ditekuk dalam keterbatasan isi kepalanya yang sedikit. Orang-orang seperti ini memamah agama dengan memupuk kedengkian.
Jika orang berbeda versi tentang agama Ibnu Muljam langsung menuding orang tersebut keluar dari Islam. Langsung mencapnya masuk neraka. Dan yang paling mengerikan, menghalalkan darahnya.
Dari sekadar seorang manusia pandir, Ibnu Muljam ingin menjelma menjadi Tuhan. Dia merasa berhak membunuh orang lain dengan keji.
Ibnu Muljam yang selalu menampakkan diri sebagai ahli ibadah ini dicatat sejarah dengan tinta paling nista karena memercikan darah seorang manusia mulia.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait