Pada usia ke-77, bangsa Indonesia dari waktu ke waktu terus dihadapkan dengan berbagai persoalan bangsa yang tidak jarang melenakan dari masa lalunya. Permasalahan politik praktis dan alih kekuasaan kerap menimbulkan perdebatan panjang yang pada ujungnya makin membuat sebagian masyarakat merasa jenuh.
Tak mengherankan, jika hal tersebut dapat membuat generasi masa kini cenderung enggan membaca sejarah bangsa Indonesia. Padahal, di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia terdapat amanat perjuangan yang penting. Terutama, berkenaan dengan upaya mewujudkan cita-cita bersama sebagai bangsa yang maju.
Untuk alasan itulah, mengisi perayaan Kemerdekaan Indonesia, iNewspantura.id sengaja menghadirkan kembali puisi karya WS Rendra yang berjudul “Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang”. Puisi ini mencoba merefleksikan bagaimana perjuangan para pahlawan bangsa di dalam merebut kembali kemerdekaan bangsanya yang terjajah oleh kekuasaan asing.
Dengan diksi yang kuat, puisi ini mampu memberi gambaran tentang perasaan seorang pejuang yang sadar bahwa yang akan dihadapinya adalah maut. Perjuangan yang dilakukannya tak sekadar bermodal keberanian, melainkan pula pertaruhan nyawa.
Tetapi, kematiannya bukanlah sesuatu yang sia-sia. Kematiannya adalah bentuk kepasrahan diri kepada Sang Pencipta, yang telah menganugerahkan sejengkal tanah negeri yang subur dan makmur. Namun, tanah itu dijajah oleh ketidakadilan dan kekejaman penguasa asing yang berlaku sewenang-wenang. Di situlah ia lantas memilih untuk mengorbankan dirinya demi kemerdekaan yang didamba bangsa ini. Sebab, tanpa kemerdekaan, mustahil bangsa ini dapat mengolah tanah sendiri, menentukan nasibnya sendiri, dan membangun kesejahteraan bersama-sama. Berikut, puisi lengkapnya;
Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku.
18 Juni 1960
dikutip dari majalah Mimbar Indonesia, Th. XIV, No. 25
Editor : Ribut Achwandi
Artikel Terkait