KUDUS, iNewsPantura.id - Suasana Desa Colo di lereng Gunung Muria, Kecamatan Dawe, Kudus, tampak berbeda pada Senin pagi, 7 April 2025. Ribuan warga tumpah ruah memadati jalanan desa, larut dalam kemeriahan Parade Sewu Kupat Muria -- sebuah tradisi tahunan yang selalu dinanti seminggu usai perayaan Idulfitri yang biasa disebut lebaran kupatan.
Sejak pagi hari, warga sudah berbondong-bondong datang untuk menyaksikan berbagai prosesi parade. Antusiasme warga memuncak saat iring-iringan 23 gunungan berisi ketupat, lepet, dan hasil bumi dari setiap desa di Kecamatan Dawe dikirab menuju Taman Ria Colo.
Gunungan-gunungan itu, yang melambangkan rasa syukur atas berkah dan rezeki, seketika diserbu warga setelah acara usai. Tak butuh waktu lama, seluruh isi gunungan pun ludes dibagikan dan dinikmati bersama-sama.
Parade ini bukan hanya sekadar perayaan, tapi juga bentuk pelestarian budaya yang semakin mendapat perhatian dari berbagai pihak. Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris, turut hadir dan menyampaikan apresiasinya atas konsistensi masyarakat dalam menjaga tradisi ini. Ia bahkan menyatakan niat untuk mencatatkan Parade Sewu Kupat Muria ke dalam Rekor MURI pada tahun 2026.
“Kami ingin meneruskan warisan yang sudah digagas dan dimulai oleh Bapak Musthofa bupati terdahulu dan para tokoh masyarakat lainnya. Kami sedang menyiapkan langkah-langkah agar Parade Sewu Kupat ini bisa tercatat secara resmi dalam rekor MURI,” ujar Bupati Sam’ani.
Tak hanya sebagai ajang budaya, Sam’ani juga menekankan bahwa parade ini memiliki potensi besar sebagai atraksi wisata tahunan. Keunikan dan semangat kebersamaan yang tercermin dalam acara ini diyakini mampu menarik minat wisatawan untuk datang dan mengenal lebih dalam kearifan lokal masyarakat Kudus.
Senada dengan Samani, Musthofa -- mantan bupati Kudus dan kini anggota DPR RI yang juga penggagas tradisi Sewu Kupat sejak tahun 2007-- menyampaikan rasa bangganya atas kekompakan warga dan berbagai pihak yang telah mendukung terselenggaranya parade tahun ini.
“Alhamdulillah, masyarakat tetap konsisten dan kompak menjaga tradisi ini. Sewu Kupat bukan hanya warisan budaya, tetapi juga simbol silaturahmi dan cermin karakter religius yang menjadi ciri khas Kudus,” tuturnya.
Tradisi Sewu Kupat memang lebih dari sekadar pesta rakyat. Ia adalah refleksi rasa syukur, ruang berkumpul bagi berbagai elemen masyarakat, dan pengingat akan pentingnya menjaga harmoni serta kebersamaan. “Di tengah perubahan zaman, masyarakat Kudus tetap menunjukkan bahwa tradisi yang kuat akan selalu menemukan tempat di hati mereka,” tandas Musthofa.
Editor : Eddie Prayitno
Artikel Terkait