Feminisme Ala Armijn Pane Mendahului Feminisme Barat

Ribut Achwandi
Susanto, dosen cum Wakil Dekan I FKIP Universitas Pekalongan (sumber: foto istimewa).

PEKALONGAN, iNewspantura.id - Anggapan bahwa gagasan feminisme muncul dari pemikiran barat dipandang keliru oleh ahli sastra Universitas Pekalongan, Susanto. Menurut dosen cum Wakil Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unikal, sebelum Indonesia menjadi negara yang merdeka, gagasan mengenai feminisme sudah banyak diungkap oleh para pemikir Indonesia, salah satunya Armijn Pane.

Seperti diketahui, Armijn Pane merupakan salah seorang sastrawan kenamaan pada era 1930-an. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru yang kemudian melahirkan gerakan modernisme sastra Indonesia masa itu. Selain sebagai sastrawan, Armijn Pane juga seorang wartawan cum pengajar di Taman Siswa.

Melalui sejumlah novel karyanya, Armijn Pane secara terang-terangan mengungkapkan gagasannya tentang feminisme. Bahkan, gagasan feminisme Armijn Pane melampaui apa yang sedang terjadi di dunia Barat pada era itu.

“Gagasan Armijn Pane tentang feminisme dalam novel-novelnya malah sudah memasuki feminisme gelombang kedua. Mendahului feminisme barat yang waktu itu masih pada tahap gelombang pertama,” ungkap Susanto dalam sebuah obrolan di Kojah Sastra, sebuah program siaran sastra di Radio Kota Batik, yang tayang tiap Kamis malam.

Dituturkan Susanto, feminisme gelombang pertama mengedepankan isu-isu kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Terutama, menyangkut kedudukan dalam masyarakat. Namun, berbeda dengan feminisme gelombang kedua yang mengarahkan pada pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetap diakui dari aspek individualitasnya.

“Seperti dalam novel Belenggu karya Armijn Pane. Dikatakan, dalam pangkalnya hidup perempuan dan laki-laki hak dan harga mereka itu sama. Sedangkan, perbedaan di antara mereka itu hanya semata-mata mengenai perbedaan hidup, lahir dan batin, yang khusus buat masing-masing. Di sini tidak menyamakan. Berbeda dengan feminisme gelombang pertama, kalau laki-laki bisa ini perempuan pun harus bisa sama. Laki-laki boleh bertinju, perempuan juga boleh. Tetapi, tidak bagi Armijn Pane. Tetap ada perbedaan di antara keduanya. Ada suatu kekhasan,” tutur Susanto.

Melalui kutipan itu, Susanto menyatakan, titik tolak feminisme gelombang kedua cenderung mengarah pada emansipasi. Tetapi, emansipasi tidak melulu menempatkan perempuan dan laki-laki harus pada posisi yang sama semuanya, terutama dalam struktur kemasyarakatan. Sebaliknya, peran yang dimainkan perempuan dan laki-laki disesuaikan dengan kodrat mereka masing-masing.

Pemikiran Armijn Pane ini, oleh Susanto, dipandang sebagai dampak dari pola pendidikan Belanda pada masa berlakunya Politik Etis. Pada masa itu, sejumlah tokoh disekolahkan hingga ke negeri Belanda. Juga sejumlah tokoh perempuan, khususnya para putri bangsawan atau masyarakat keturunan Timur Asing (Keturunan Tionghoa dan Arab yang tinggal di Indonesia pada masa itu).

“Politik etis juga membuka peluang bagi sejumlah tokoh perempuan untuk mendirikan sekolah keputrian di beberapa daerah. Hal ini pula yang memungkinkan Armijn Pane mengulik gagasan feminisme ala Armijn Pane,” ujar Susanto.

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network