TEL AVIV - Beberapa negara Arab yang dapat menerima Iron Beam termasuk Uni Emirat Arab (UEA) dan mungkin juga Arab Saudi, menurut laporan Channel 12 Israel.
Pejabat Israel berencana meminta restu resmi dari Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk menyediakan sistem pertahanan udara berbasis laser Iron Beam ke negara-negara Teluk Arab.
Pekan lalu, menteri pertahanan Israel mengumumkan Tel Aviv sedang mengerjakan “Aliansi Pertahanan Udara Timur Tengah” dengan pemerintah negara-negara Arab, tetapi tidak memberikan rincian. Pada Minggu, media AS melaporkan Washington menengahi pertemuan rahasia pada musim semi para pejabat tinggi militer Israel dan Arab untuk membahas koordinasi pertahanan udara regional melawan Iran.
Laporan berbahasa Ibrani tanpa sumber, yang dikutip Times of Israel, mengindikasikan pengiriman sistem laser ke negara-negara Teluk akan membantu upaya pimpinan AS meningkatkan kerja sama pertahanan udara antara Tel Aviv dan koalisi regional yang longgar termasuk Mesir, Yordania, Bahrain, UEA, Arab Saudi dan Qatar.
Negara Yahudi itu tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Qatar dan Saudi. Riyadh telah berulang kali menyatakan mereka tidak akan menjalin hubungan formal dengan Israel sampai masalah Palestina dan pembentukan negara Palestina diselesaikan.
Pada Minggu (26/62022), Wall Street Journal (WSJ) melaporkan, mengutip sumber-sumber AS dan Timur Tengah, bahwa Pentagon telah menyelenggarakan pertemuan diam-diam di Sharm El Sheikh, Mesir pada Maret untuk membahas cara-cara meningkatkan kerja sama pertahanan udara melawan rudal balistik dan drone Iran.
Pertemuan itu dikatakan dipimpin Kepala Komando Pusat AS saat itu Frank McKenzie, dan dihadiri komandan militer tinggi dari Israel dan negara-negara Arab yang diundang. Menteri Pertahanan (Menhan) Israel Benny Gantz, yang mengumumkan pembentukan aliansi pertahanan udara regional anti-Iran pekan lalu, tampaknya mengisyaratkan kebenaran laporan WSJ pada Senin, dengan mengatakan,
“Israel sedang membangun kemitraan luas dengan negara-negara tambahan di kawasan itu untuk memastikan Timur Tengah yang aman, stabil dan makmur, antara lain, ini juga termasuk pertahanan udara.” “Kami akan memperkuat ini, karena Timur Tengah yang stabil adalah kepentingan tertinggi internasional, regional dan Israel,” papar Gantz.
Militer Iran juga tampaknya mengeluarkan tanggapan tidak langsung terhadap laporan WSJ, dengan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mohammad Bagheri memperingatkan pada Senin bahwa Teheran “tidak akan mentolerir” ancaman yang ditimbulkan Israel dan kerjasamanya dengan CENTCOM, dan “pasti akan bereaksi terhadap mereka.”
Israel telah lama menggembar-gemborkan kemampuan canggih yang disebut-sebut sebagai sistem pertahanan udara berbasis laser Iron Beam, prototipe yang diluncurkan tahun lalu.
Awal bulan ini, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengatakan senjata "pengubah permainan" akan mengubah keseimbangan menguntungkan Israel, dengan perkiraan biaya listrik USD2 yang dibutuhkan per ledakan untuk mencegat roket musuh hanya setetes ember dibandingkan dengan puluhan ribu dolar biaya pembuatan roket.
Bennett menyatakan harapan bahwa sistem laser akan online pada 2023. Pekan lalu, Breaking Defense melaporkan Israel akan meminta lebih banyak uang kepada Biden untuk pengembangan Iron Beam, di atas subsidi tahunan AS senilai USD3,3 miliar yang telah diterima oleh militer dan pertahanan Israel.
Sumber outlet menunjukkan Israel kemungkinan akan meminta presiden AS untuk mengeluarkan sekitar USD300 juta uang tunai tambahan. “Hubungan antara AS dan Israel solid. Isu-isu yang akan dibahas selama kunjungan adalah yang paling penting bagi AS dan Israel. Saya yakin pembicaraan akan membuahkan hasil bagi kedua belah pihak,” ujar seorang sumber senior pertahanan kepada outlet tersebut.
Selama perjalanannya ke Timur Tengah bulan depan, Biden diperkirakan mengunjungi pangkalan udara Israel dan melihat langsung prototipe senjata laser yang dikembangkan raksasa pertahanan Israel Rafael dan Elbit Systems.
Laser untuk digunakan terhadap pesawat terbang, rudal, drone, kapal, dan peralatan darat telah menjadi bahan pertimbangan pengembang senjata sejak Perang Dingin, dengan para insinyur menghabiskan puluhan tahun merenungkan prospek penggantian rudal konvensional dan proyektil peluru dengan pulsa sinar futuristik.
Tetapi senjata itu telah lama menghadapi apa yang sebelumnya dianggap sebagai masalah yang tidak dapat dipecahkan, seperti jumlah besar daya yang diperlukan untuk mengoperasikannya, serta interaksi antara laser tempur dan fenomena alam seperti hujan, kabut, kabut asap atau debu, yang semuanya menghilangkan kekuatan senjata itu.
Bulan lalu, pembuat senjata AS Raytheon melaporkan senjata lasernya sendiri, yang dipasang di kendaraan Angkatan Darat Stryker telah berhasil menjatuhkan mortir yang ditembakkan dalam pengujian.
Editor : Hadi Widodo