Tetapi kearifan hati Wisesa tak diikuti oleh seluruh anak buahnya. Pada situasi demikian, rombongan Sunda itu merasa dilecehkan. Karenanya, rombongan Sunda itu ingin mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai pengantin, bukan sebagai tanda takluk Sunda terhadap kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Namun Hayam Wuruk tampaknya belum berani mengambil keputusan tepat. Faktor umur yang masih muda menjadikannya bimbang, apalagi kedudukan Gajah Mada yang sekelas perdana menteri menjadi tokoh andalan untuk Majapahit dalam mengambil kebijakan.
Di sisi lain, rombongan pengantin Sunda mulai muak dengan perlakuan yang diterimanya dari Gajah Mada. Beberapa pejabat istana Sunda seperti Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, Rangga Kaweni, Sutrajali, Jagatsaya, Urang Pangulu, Urang Saya, dan Urang Siring, naik pitam.
Mereka pun memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Majapahit di bawah komando Gajah Mada, meski secara jumlah kuantitas jelas kalah telak. Sebelum raja Hayam Wuruk memberikan putusan, Gajah Mada dan pasukannya sudah melakukan penyerangan ke lapangan Bubat dan mengancam raja Sunda Maharaja Linggabuana Wisesa, untuk mengakui kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Demi mempertahankan kehormatan dan harga diri sebagai ksatria Sunda, Maharaja Linggabuana Wisesa menolak tekanan itu. Satu lesatan anak panah entar busur dari siapa menerjang utusan Gajah Mada hingga terkapar di tanah.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait