Menurut Sosiolog aliran Frankfurt (neo marxian) Jurgen Habermas (1962), ruang publik yang otonom untuk civic-participation merupakan elemen fundamental demokrasi. Namun fakta sosialnya, penataan ruang suatu daerah selalu akan memunculkan kelompok sosial yang "berkuasa" , dominan, berpengaruh dan eksis, sebaliknya ada yang kemudian terpinggirkan. Pertentangan kelas nantinya akan terjadi dan itu terjadi di perkotaan di beragai belahan dunia.Ada yang eksis dan ada yang terpinggirkan.
Sebelum ada fenomena para remaja pinggiran yang nongkrong disana, Sudirman hingga ke Jakarta Selatan dikenal sebagai kawasan elite dan strategis. Ada pertokoan, perkantoran ditambah dengan perumahan mewah, townhouse di sekitarnya. Belum lagi Dukuh Atas memang dikembangkan sebagai Transit Oriented Development (TOD), atau sistem transportasi terintegrasi pertama Jakarta yang mempertemukan berbagai transportasi publik seperti MRT Jakarta, kereta KRL Commuterline, TransJakarta, kereta bandara, dan LRT Jabodebek.
Mereka yang lalu lalang di jalur itu adalah mereka yang terlihat seperti layaknya kelas menengah ke atas. Menggunakan pakaian rapi, tas dan sepatu bermerk. Kawasan Sudirman pun seolah-olah jadi kawasan elit yang didominasi kelas menengah ke atas.
Maka ketika akhir-akhir ini muncul banyak anak anak remaja dari pinggiran Jakarta berpenampilan kontras dan terlihat berlebihan di jalur itu sontak menarik perhatian. Mereka nongkrong berjam-jam dengan gaya mereka, layaknya model yan beraksi di atas catwalk. Aksi mereka menarik perhatian para content creator yang kemudian menjadikan mereka sebagai bahan konten. CFW kemudian viral dengan artis para remaja yang selama ini tinggal di daerah pinggiran. Ada yang namanya bonge, jeje, kurma, dan lain lain.
Saat ditanya apa motivasi mereka di lokasi itu hingga berjam- jam bahkan sampai tidur di sana, mereka menjawab enteng sambil cengengesan untuk nongkrong , cari teman, jajan, dengan modal antara Rp 15 ribu sampai Rp 50 ribu rupiah untuk eksis di sana sekitar 8 sampai dengan 10 jam. Bahkan tak jarang tidur di sana karena ketinggalan kereta.
Kini ketika CFW viral, semua ingin ke sana dari mulai content creator, media mainstream, selebritis, model beneran, sampai pejabat publik. Bukan hanya melihat aksi para remaja pinggiran tersebut, mereka bahkan ikut tampil di street catwalk itu. Ada juga yang pansos (panjat sosial), istilah anak muda sekarang, untuk numpang tenar dengan bikin konten bersama Bonge dan Jeje.
Ketika CFW sudah jadi crowd (kerumunan) besar dengan market yang menggiurkan, bukan tidak mungkin "panggung" catwalk para remaja pinggiran itu akan diambil alih oleh para model profesional yang dibawa para event organizer berkapital besar untuk mengeruk peluang profit atau bahkan politisi yang membutuhkan suara menjelang pemilu 2024. Saat itulah Demokratisasi ruang publik seperti yang disampaikan Habermas dipertaruhkan. Ketika ada kelompok sosial tertentu tersisih di sebuah kawasan, maka mereka akan mencari ruang baru untuk eksistensi, seperti SCW bagi anak-anak Citayam, Bojong Gede, Depok dan sebagainya sebelum viral seperti sekarang ini.
Editor : Muhammad Burhan
Artikel Terkait