PURBALINGGA, iNewsPantura.id - Rektor Universitas Harkat Negeri (UHN) Sudirman Said menggelar "Sarasehan Kebangsaan Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI: Pemimpin adalah Teladan, Belajar dari Panglima Soedirman" di Monumen Tempat Lahir Panglima Besar Jenderal Soedirman di Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga pada Sabtu (23/8/2025). Dialog tentang keteladanan Jenderal Soedirman ini diikuti warga dari Purbalingga dan Banjarnegara.
Acara ini dibuka Agung Widiarto, Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Purbalingga. Dalam sambutannya, Agung menyampaikan bahwa sosok Sudirman Said sebagai tokoh nasional yang telah berkiprah di pemerintahan, kaya dengan pemikiran untuk Indonesia, dan pengalamannya untuk mengisi kemerdekaan. "Kenapa beliau [Sudirman Said] hadir di sini karena ada roadshow ke berbagai kampus."
Kendati lokasi Monumen Tempat Lahir Panglima Besar Soedirman terpencil, yaitu di sebelah timur dan utara wilayah Purbalingga, berjarak sejauh 25 kilometer atau 40 menit waktu tempuh kendaraan bermotor dari Dari pusat Kota Purbalingga, dialog ini diikuti banyak peserta, termasuk para pelajar. Tidak sedikit peserta yang menyampaikan berbagai pertanyaan tentang nilai-nilai Jenderal Soedirman dengan relevansi dalam kehidupan sehari-hari, berbangsa, dan bernegara pada saat ini.
"Untuk kesekian kali, saya bersyukur bisa bermuhibah kembali ke sini, di Monumen Tempat Lahir Pak Dirman, panglima besar pertama dan terakhir yang pernah kita punyai. Ini menjadi momen penting untuk merenungkan kembali semangat kepemimpinan, keberanian, dan cinta tanah air beliau kepada generasi muda," ujar Sudirman Said, Sabtu (23/8/2025).
Saat berdialog dengan masyarakat, Sudirman menyampaikan bahwa di keluarga Pak Dirman ada “ritual”, setiap 1-17 Agustus, pantang untuk membeli baju baru. "Kenapa begitu? Ceritanya begini, saat itu, menjelang 17 Agustus 1946, Pak Dirman tidak punya baju yang layak. Bayangkan, itu seorang Panglima Besar. Ketika berita itu sampai ke telinga Presiden Soekarno, ditulislah pesan di secarik kertas berpaket, “Dimas (panggilan khusus Bung Karno buat Pak Dirman), saya tahu persis Dimas tak punya baju untuk dipakai perayaan proklamasi, maka saya kirimkanlah baju ini”. Seluruh hartanya didedikasikan untuk perjuangan, bahkan cincin kawinnya," cerita Sudirman Said.
Jenderal Soedirman, Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia yang telah menginspirasi banyak generasi. Jenderal Soedirman sebagai figur yang tidak hanya unggul dalam strategi militer, tetapi juga sebagai pribadi yang bersahaja dan penuh keikhlasan.
"Pada kesempatan ini, saya ingin sorongkan satu pertanyaan kecil saja, yaitu: “Sudah seberapa Soedirman kah kita?” Soedirman yang saya maksud tentu saja bukan sebagai nama orang semata, melainkan kata sifat bahkan kata kerja. Soedirman sebagai kata sifat/kerja itu kaya sekali spektrumnya: berkehormatan, gigih, bersahaja, berani, cakap, teguh dalam prinsip, tekun, tulus-ikhlas, tawadu’/rendah hati, ksatria, bersih batin, tak gila jabatan/kekuasaan, istikamah, negosiator ulung, dermawan."
Namun, Sudirman Said mempertanyakan apakah Pak Dirman masih kita tempatkan sebagai teladan dalam berbangsa atau bernegara? "Masih berbunyikankah ke-Soedirman-an itu dalam perilaku kita sehari-hari? Ataukah Pak Dirman tak lebih dari selain sekelebat ikon yang lazim kita dapati sebagai nama jalan raya, nama gedung, nama stasiun, nama perguruan tinggi, patung-patung sosok ringkih berblangkon dan berjas panjang kedodoran, bahkan wajah tirus di sehelai uang kertas?"
Sudirman Said mengomentari salah satu foto Jenderal Soedirman di Istana Yogya, 10 Juli 1949, mengabadikan momen pertemuan kembali Presiden Soekarno (yang belum lama pulang dari pengasingan di Bangka) dan Pak Dirman dari turun gunung perang gerilya pasca-Agresi Militer II selama 7 bulan. Terakhir keduanya berpisah itu pada 19 Desember 1948. Tanggal 19 Desember 1948 itu pasukan awal Agresi Militer II. Pagi-pagi buta ia menemui Bung Karno, “Bung, saya minta dengan sangat, marilah pergi bersama saya. Saya berencana meninggalkan kota ini, masuk hutan.” Akan tetapi, Pak Dirman terkejut menerima perintah dari Presiden agar beliau tetap tinggal di Kota Yogya saja untuk dirawat sakit paru-parunya yang tinggal aktif sebelah itu. Pak Dirman kecewa berat terhadap pilihan Bung Karno karena dulu beliau pernah berjanji akan ikut gerilya. Pak Dirman pun menjawab tawaran presiden dengan kata-kata yang terus dikenang, "Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan. Met of zonder (dengan atau tanpa) pemerintah, TNI akan berjuang terus.”
“Tapi kan Dimas sedang sakit,” kata Bung Karno. “Yang sakit itu Sudirman, Panglima tidak pernah sakit!” kata Pak Dirman," ditirukan kembali oleh Sudirman Said.
Selebihnya, seperti dicatat sejarah, Pak Dirman pun memimpin perang gerilya melawan Belanda pada Agresi Militer II 1948. Gerilya dijalaninya sekitar 1.010-an km dalam waktu 204 hari!
"Apa yang diteladankan Pak Dirman dari peristiwa monumental ini? Pertama, tarik garis tegas antara ranah privat dan ranah publik hingga sampai ke derajat yang paling mendasar, niscaya selamatlah engkau sampai titik akhir. Kedua, memimpin adalah soal kata dan laku. Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata. Itulah yang akan dilihat oleh, terutama, anak buahmu. Lalu seberapa Soedirman kita?" tanya Sudirman Said.
Foto lainnya adalah ketika Jenderal Soedirman di pelataran Candi Borobudur, Maret 1947, pada latihan perang Lasykar Cadangan. Di sini, dengan menempatkan dirinya sebagai seorang “Bapak buat anak-anaknya”, beliau menyampaikan pesat atau amanat yang bisa Anda baca juga di Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman, Yogyakarta “Anak-anakku Tentara Indonesia, kamu semua bukanlah serdadu sewaan, tapi tentara yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran Tanah Airmu. Ingat, Tentara Indonesia, sekali lagi, bukan tentara sewaan, apalagi disewa perusahaan-perusahaan!”
"Bagaimana amanat dari Pak Dirman itu pada masa kini? Apakah kita masih masih berjuang untuk rakyat, atau untuk segelinter elite? Seberapa Soedirmankah kita jika menatap foto itu?" kata Sudirman Said.
Foto ketiga: Foto Tjokropanolo Pak Tjokropranolo adalah ajudan kepercayaan Pak Dirman saat bergerilya dan, kelak, menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 1977-1982. Pada 8 Juli 1949, Jumat Pahing, saat beristirahat di sebuah pelosok hutan antara Pacitan dan Wonogiri, Pak Tjokropranolo, dengan sepenuh hati, di hadapan Pak Dirman dan para kolega pengirinya beliau berucap menasbihkan Pak Dirman sebagai pahlawan. Alih-alih berbangga apalagi berbahagia, Pak Dirman justru berseru kencang: “Ora. Sing pahlawan iku dudu aku, dudu kowe, dudu awak dewe kabeh, tapi rakyat kita yang ada di desa-desa, di gunung-gunung, di pantai-pantai, yang tanpa mereka, kita ini tidak akan ada."
Rakyat, sekali lagi rakyat, adalah rahim dari perjuangan dan pejuangnya. Semua bermula dan berakhir pada mereka. Apa artinya negeri ini tanpa mereka?
Mari kita lihat sekarang, rakyat, oleh para pejabat kita, ditempatkan sebagai apa? Apakah mereka kita butuhkan hanya pada saat-saat pemilu atau pilkada saja? Sudah Soedirmankah kita?
Editor : Suryo Sukarno
Artikel Terkait