Ternyata Ada Loh Sahabat Nabi yang Gemar Halalbihalal

Ribut Achwandi
Ilustrasi (sumber gambar: okezone.com)

PEKALONGAN, iNews - Istilah halalbihalal memang tak dikenal di masyarakat Jazirah Arab, sekalipun bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Bahkan, di masa awal Islam muncul di tanah Arab pun, istilah ini tak pernah muncul. Lalu, dari mana istilah halalbihalal itu muncul?

Dirangkum dari berbagai sumber, istilah halalbihalal merupakan istilah khas Nusantara. Soal kemunculan istilah tersebut, ada beberapa pendapat. Pertama, menganggap bahwa istilah halalbihalal muncul di era Walisanga, atau abad ke-15. Kedua, menyatakan jika istilah tersebut muncul kali pertama di era 1945.

Ketika itu, Bung Karno (Presiden pertama RI) ingin menyelenggarakan kegiatan menyambut Idulfitri. Ia ingin mengumpulkan tokoh-tokoh dalam acara itu. Agar lebih afdal, ia pun berinisiasi menemui Buya Hamka dan berkonsultasi mengenai bentuk dan nama kegiatan yang digagasnya itu.

Mulanya, Buya Hamka mengajukan nama acara itu dengan istilah Silaturahmi atau Syukuran. Tetapi, Bung Karno kurang puas dengan istilah itu. Yang ia inginkan, agar istilah yang dipakai benar-benar khusus, hanya untuk Idulfitri. Sementara, kedua istilah yang diusulkan Buya Hamka menurutnya masih terlalu umum.

Lantas, Buya Hamka memberi pertimbangan lagi. Kepada Bung Karno, ia katakan, “Idulfitri itu hari yang apa-apa diharamkan di bulan Ramadan kembali menjadi halal.”

Dari pernyataan Buya Hamka itulah kemudian terbesit di benak Bung Karno, Lebaran menjadi waktu yang mempertemukan antara yang halal dengan yang halal. Lalu, ia pun kembali bertanya, “Bagaimana kalau acara kumpul-kumpul itu dinamakan halalbihalal?”

Pertanyaan itu ditanggapi positif oleh Buya Hamka. Ia tidak memasalahkan istilah usulan Bung Karno tadi.

Ketiga, menyatakan jika istilah halalbihalal lahir dari K.H. Wahab Chasbullah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1948, ketika itu situasi politik di Tanah Air masih cukup memanas. Di antara tokoh-tokoh nasional masih memiliki perbedaan sikap dan pandangan. Sementara, Belanda masih saja berusaha merebut kembali Indonesia.

Saat jelang Idulfitri, Bung Karno sengaja mengumpulkan sejumlah tokoh di Istana. Salah satu yang hadir adalah K.H. Wahab Chasbullah.

Dalam pertemuan itu, usulan Kiai Wahab tentang kegiatan silaturahmi nasional disetujui semua yang hadir. Mereka merasakan hal yang sama, yaitu butuh rasa kebersamaan untuk mendamaikan konflik di antara tokoh-tokoh politik nasional. Bung Karno kemudian mengusulkan, kegiatan tersebut agar diselenggarakan saat Lebaran. Namun, ia menghendaki agar istilah silaturahmi diganti karena dipandang terlalu umum.

“Itu gampang. Begini, para elite politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halalbihalal,” jelas Kiai Wahab.

Walhasil, Bung Karno mengiyakan dan menggelar kegiatan silaturahim politik itu dengan sebutan “Halalbihalal”.

Kisah Sahabat Nabi yang Gemar “Halalbihalal”

Terlepas dari ketiga versi tentang asal-usul istilah halalbihalal, Pengasuh Majelis Taklim Al Maliki, Pekalongan, K.H. Saifudin Amirin mengungkapkan, secara esensial tradisi halalbihalal merupakan implementasi dari ajaran Nabi Muhammad saw. Terutama yang berkenaan dengan perilaku untuk saling memaafkan.

Bahkan, menurut K.H. Saifudin Amirin, dalam sebuah riwayat dikisahkan, kebiasaan “berhalalbihalal” ini sudah dilakukan oleh seorang sahabat Nabi Muhammad saw. Namanya, Sa’ad bin Abi Waqqash.

Nama lengkap Sa'ad bin Abi Waqqash adalah Sa’ad bin Abi Waqqash Malik bin Wuhaib bin Abdul Manaf bin Zuhrah bin Kilab Al-Qurasyi Al-Zuhri. Jadi, tutur K.H. Saifudin Amirin, nasab Sa’ad bin Abi Waqqash masih bertalian dengan Nabi Muhammad, yaitu melalui kabilah Zuhrah.

Oleh Nabi Muhammad, kata K.H. Saifudin Amirin, Sa’ad bin Abi Waqqash dijamin menjadi penghuni surga, kelak di hari akhir. Jaminan itu bahkan pernah diungkapkan Nabi Muhammad saw saat bersama Abu Darda’, hingga membuat sahabat Nabi yang ahli hikmah itu penasaran.

“Abu Darda’ sampai bertanya kepada Rasulullah saw, apa gerangan yang membuat Sa’ad bin Waqqash dijamin Rasulullah masuk surga. Lalu, ia pun menyelidikinya. Abu Darda’ sampai menginap di rumah sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash untuk beberapa hari. Setiap saat ia amati amalan-amalan sahabat Nabi yang diistimewakan itu. Tetapi, rupanya Abu Darda’ tidak menemukan apa pun, kecuali amalan-amalan yang sama-sama dilakukan oleh sahabat-sahabat lainnya,” jelas K.H. Saifudin Amirin di hadapan ratusan jemaah Majelis Taklim Al Maliki yang turut hadir dalam acara halalbihalal Majelis Taklim Al Maliki, Selasa malam (3/5/2022).

Lebih lanjut, K.H. Saifudin Amirin menerangkan, rasa penasaran Abu Darda’ tak lagi dapat dibendung. Ia akhirnya tak tahan untuk bertanya langsung kepada Sa’ad bin Abi Waqqash tentang amalan yang membuat ia dijamin Rasulullah masuk surga.

“Dengan senyum, Sa’ad bin Waqqash lantas menjawab, bahwa apa yang dilakukannya itu sesuatu yang sederhana. Setiap kali berjumpa atau berpisah dengan siapa pun, ia selalu meminta maaf. Begitu pula saat ia hendak pergi tidur, ia akan mengunjungi orang-orang di sekitarnya hanya untuk meminta maaf. Itu dilakukannya setiap hari. Jadi, kalau boleh dikatakan, Sa’ad bin Abi Waqqash adalah sahabat Nabi yang setiap hari melaksanakan apa yang kita sebut sekarang ini sebagai halalbihalal. Kenapa? Karena hakikat halalbihalal adalah cara kita untuk dapat saling memaafkan,” terang Kiai kharismatik yang low profile itu.

Editor : Ribut Achwandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network