Sayang, sekalipun Sunan Kalijaga berhasil membekuk Ki Sastro dan kelompoknya, namun nyawa Dewi Suci tak sempat ia selamatkan. Selama dalam penyekapan Ki Sastro, putri angkat Ki Dirjan itu rupanya mengalami penyiksaan. Anak buah Ki Sastro menyiksanya, hingga ia menghembuskan napas terakhirnya. Itulah yang membuat Sunan Kalijaga sedih. Dan itu pula yang membuatnya merasa bahwa mimpinya tempo hari adalah firasat buruk.
Dalam suasana berkabung, Sunan Kalijaga masih merasakan kesedihan yang mendalam atas kepergian istrinya. Ia juga meminta maaf kepada ayah angkat istri tercintanya, Ki Dirjan, karena tak mampu menjaga putrinya dengan baik. Ki Dirjan memahami dan memaklumi hal itu. Ia tahu, peristiwa itu bagian dari cobaan hidup bagi orang besar seperti Sunan Kalijaga.
Kisah meninggalnya putri Ki Dirjan itu juga menjadi alasan mengapa dinamai Dewi Suci. Sebab, sekalipun telah dinikahi Sunan Kalijaga, hingga akhir hayatnya, gadis itu masih suci. Belum sekalipun disentuh oleh suaminya, Sunan Kalijaga.
Usai masa berkabung, Ki Dirjan mengajukan permintaan khusus pada Sunan Kalijaga. Ia ingin Sunan Kalijaga memainkan wayang kulit di desa itu. Permintaan itu sekaligus sebagai penglipur lara Sunan Kalijaga yang baru saja melewati masa berkabung. Selain itu, juga sebagai bentuk dukungannya kepada Sunan Kalijaga untuk terus melakukan dakwah.
Pertunjukan wayang kulit pun dilangsungkan. Saat itu, seluruh warga desa itu memenuhi halaman rumah Ki Dirjan. Tampak pula hadir dalam helat itu orang yang pernah memusuhi Sunan Kalijaga, Ki Sastro. Ia ikut menyaksikan pergelaran wayang itu. Sejak itu pula, seluruh warga desa tempat Ki Sastro dan Ki Dirjan tinggal merasa terpanggil hatinya untuk memeluk agama Islam.
Dan, pertunjukan itu adalah pertunjukan terakhir yang digelar Sunan Kalijaga di desa itu. Sebab, setelah beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga memutuskan untuk meninggalkan desa itu. Kepergian Sunan Kalijaga dilepas tangis dan duka oleh seluruh warga desa. Mereka merasa kehilangan sosok pamomong yang berhati dingin. Setiap ucapannya lembut dan menyejukkan.
Beberapa hari setelah kepergian Sunan Kalijaga, sejumlah warga menemukan batu-batu yang bentuknya menyerupai perangkat gamelan yang digunakan Sunan Kalijaga di bantaran sungai Sengkarang. Tidak hanya sebuah, tetapi ada banyak batu dengan bentuk yang serupa alat-alat gamelan. Oleh warga, batu-batu itu lantas dipungut dan dipindahkan ke tempat yang layak. Batu-batu berbentuk gamelan itu dikumpulkan dan ditata. Sejak itu tatanan batu gamelan itu disebut sebagai Candi Gamelan.
Begitulah salah satu mitos tentang Candi Gamelan yang hingga ini masih diyakini oleh masyarakat. Namun, kisah itu masih memiliki versi lain. Mau tahu versi lain dari kisah itu? Dan kira-kira di manakah Candi Gamelan itu berada? Ikuti terus kisah mitos Candi Gamelan di inewspantura.id.
** Disarikan dari Mitos Cerita Candi Gamelan di Kabupaten Pekalongan oleh Defina Lutfitasari (2011)
Editor : Ribut Achwandi