get app
inews
Aa Text
Read Next : TP PKK Blado Juara 1 Lomba Busana Batik

Melacak Definisi Batik dari Naskah-Naskah Jawa Kuna

Sabtu, 04 Juni 2022 | 19:02 WIB
header img
Ilustrasi (sumber: okezone.com)

Belum ditemukannya batasan pengertian (definisi) batik yang baku membuat pengembangan ilmu pengetahuan—terutama yang berkenaan dengan batik—mengalami hambatan. Definisi batik yang baku, dalam kajian ilmu pengetahuan, akan membantu pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan melalui riset.

Salah satu faktor yang menyebabkan belum ditemukannya pengertian batik adalah kendala bahasa. Seperti disebutkan KRT Manu J Widyaseputra, hingga saat ini kerap terjadi kerancuan penggunaan bahasa di dalam mendefinisikan istilah batik. Kerancuan tersebut disebabkan oleh miskinnya pengetahuan mengenai asal-usul bahasa dari istilah batik.

Untuk alasan itu, Romo Manu menawarkan upaya pelacakan asal-usul istilah batik tersebut melalui penelusuran sumber-sumber filologis kuno dalam bahasa Jawa Kuna, Pertengahan dan Sanskerta. Menurutnya, lewat sumber naskah Jawa Kuna pelacakan istilah batik dapat ditelusuri. Sebab, kosakata tersebut dapat ditemui dalam banyak teks Jawa Kuna. Ia menyebutkan, salah satu teks Jawa Kuna yang banyak menggunakan kosakata tersebut adalah Kakawin Smaradahana yang ditulis Mpu Dharmaja pada abad ke-11 M (semasa Kerajaan Kediri).

“Di dalam teks-teks inilah kita bisa menjumpai data leksikografis yang dapat memberi pengertian kata batik itu dari kata apa. Ketika saya melanjutkan penelusuran saya, saya menemukan batik itu dari kata ṭika (gambar/lukisan). Jadi, apa yang dilukis disebut dengan nama ṭika,” tutur Manu.

Kata ṭika merupakan kosakata asli Jawa. Namun, dalam perkembangannya, kata ini juga diadaptasi oleh bahasa-bahasa di India, baik itu Gujarati, Marathi, Bengali, Kashmiri, Nepali, maupun Sanskerta, dan lain-lain. Meski begitu, makna kata ṭika dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa-bahasa lain di India tidak jauh berbeda, yaitu lukisan atau gambar. Kata ṭika terdapat pula dalam naskah Jawa Kuna, Kakawin Smaradahana.

Kata ṭika dalam salah satu penggalan teks Kakawin Smaradahana disebutkan sebagai bahan yang digunakan untuk menggambar sebelum digoreskan pada karas. “Jadi, ketika sang kawi mengembara, itu juga selalu membawa ṭika. Karena tika ini bisa dijumpai di hutan. Tinggal memetik saja dan digoreskan. Kemudian baru setelah hasilnya ada, baru ditulis lagi di karas. Karas itu alat tulis berasal dari lempengan batu,” terang Manu.

Dalam keterangan lain, Romo Manu menyebutkan, kata ṭika (dalam Kakawin Smaradahana) juga semakna dengan pudhak (bunga pandan). Pudhak/bunga pandan, dalam tradisi Jawa Kuna digunakan sebagai bahan untuk menggambar atau menulis. Sebelum digunakan untuk menggambar atau menulis, kelopak bunga ini dikeringkan dan dihaluskan agar lurus dan dapat digunakan.

“Biasanya, ṭika dipakai kalau untuk menulis, untuk menulis surat cinta dan surat-surat penting/rahasia. Kalau ada seorang pangeran yang akan bertemu dengan seorang putri itu dengan rahasia maka dipakailah ṭika (bunga pandan) ini. Tanaman ini memang hidup di kawasan tropis,” ungkap Romo Manu.

Disebutkan pula, tradisi tersebut kemudian juga berkembang ke India. Hanya, ada perbedaan mendasar antara India dan Jawa. Bunga pandan di India lebih besar ukurannya dengan yang ada di Jawa. Namun, awal mula aktivitas menggambar justru dimulai dari Jawa. “Biasanya lukisannya suci atau rahasia. Tidak sembarang lukisan bisa menggunakan ṭika,” jelas Manu.

Pada teks-teks Jawa Kuna lainnya, Profesor Manu juga menemukan perluasan makna semantik pada kata ṭika (dalam bahasa Jawa Kuna). Yang semula sekadar titik menjadi teks dan gambar atau lukisan. Akan tetapi, hal menarik yang diungkap Romo Manu menyingkap sebuah korelasi ṭika dengan kosmologi Jawa.

“Yang menarik lagi bahwa ṭika bukan hanya sekadar tulisan atau gambar biasa, tetapi keduanya menjadi elemen yang ekologis dan sakral dalam suatu ritual. Untuk menggambar dengan menggunakan ṭika harus melakukan ritual, karena apa yang akan digambarkan akan berkaitan dengan sang iswadewata, dewa yang menjadi pujaan atau tempat manusia menyatukan diri dengannya. Oleh karena itu ṭika itu disamakan dengan mega,” terang Manu.

Lebih lanjut, Manu menuturkan, bagian permukaan bumi yang tampak lebih redup karena cahaya matahari terhalang mega atau awan disebut pula sebagai ṭika. “Jadi, ṭika, selain digunakan untuk menyebut bunga pandan juga digambarkan seperti mega,” ujar Manu.

Dalam mitologi Jawa, awan yang dalam bahasa Jawa Kuna disebut pula sekar anglangit merupakan nama lain dari seekor gajah peliharaan Dewa Indra. Namanya, Irawata. Irawata memiliki peran yang sangat besar bagi keseimbangan alam. Sehingga, ia lantas dinobatkan pula sebagai dewa yang tugasnya menurunkan hujan. Oleh sebab itu, Irawata menjadi tokoh penting, karena memberi kehidupan di bumi.

“Jadi ini penting, ṭika ini disejajarkan dengan mega yang sebenarnya adalah Irawata. Ini antara kosmologi dan mitologi akan lekat menjadi satu di sana. Ini cukup sulit dipahami apabila kita tidak terbiasa memahami tentang mitologi Jawa,” ungkap Manu.

Jika demikian, kata Manu, ada dua pengertian yang dapat digunakan untuk memaknai kata ṭika. Pertama, ṭika sebagai bahan keras yang berupa bunga pandan (pudhak). Kedua, rentangan kain putih yang diupamakan sebagai mega/awan. Seperti yang dijumpai dalam penggalan teks srining panggelaran tika sadawata ning rem kasenvan ravi. Romo Manu juga menerangkan, fenomena alam tertutupnya permukaan bumi oleh awan/mega itu mirip dengan teknik yang digunakan untuk membatik, yaitu teknik rintang.

Meski demikian, Romo Manu menyebutkan, penelusuran istilah batik yang dilakukannya dengan memanfaatkan teks-teks Jawa Kuna masih terus dilakukan. Bahkan, semakin ditelusur, banyak fakta-fakta menarik lainnya.

Editor : Ribut Achwandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut