PEKALONGAN, iNewsPantura.id - Kisah Rasulullah bagian 121 dikutip dari Kajian Habib Muhammad Pekalongan.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد
Umar bin Khatab tidak puas dengan isi perjanjian itu. Ketidakpuasannya ini ditunjukkan setelah terjadi insiden saat penulisan perjanjian. Saat itu Ali bin Abi Thalib mendapat tugas Rasulullah untuk menulis perjanjian itu.
“Tulislah Bismillahirahmanirahim!” Sabda Rasulullah kepada Ali.
“Stop!” seru Suhail. “Nama Arrahman dan arrahim ini tidak kukenal. Tulislah dengan bismika allahumma (dengan nama-mu Ya Allah)”
“Tulislah dengan nama-mu Ya Allah,” Sabda Rasulullah kepada Ali.
“Lalu, tulislah: “Ini adalah perjanjian damai yang ditetapkan antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr.”
Namun delegasi Quraisy itu kembali menolak.
“Jika kami mengakui bahwa engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu. Karena itu tulislah namamu dan nama ayahmu.”
“Baik. Hapuslah kata Rasulullah. Tulislah Muhammad bin Abdullah,” sabda Rasulullah.
Sebagaimana para sahabat lain yang hadir, Ali bin Abi Thalib sudah memuncak kemarahannya kepada delegasi Quraisy itu, sehingga ia berkata;
“Tidak ya Rasulullah! Demi Allah aku tidak sudi menghapus kata itu.”
Akhirnya Rasulullah sendiri yang menghapus kata-kata itu. Melihat hal itu Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar yang duduk disampingnya, “Bukankah dia itu Rasulullah?”
“Memang betul,” jawab Abu Bakar.
“Bukankah kita ini orang-orang Islam?”
“Memang betul!”
“Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?”
“Memang betul!”
“Lalu Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?” seru Umar berapi api.
Abu bakar menenangkan Umar dengan kata-kata tegas, “Umar duduklah di tempatmu aku bersaksi bahwa dia Rasulullah.”
Namun hampir semua sahabat berpendapat seperti Umar. Mereka merasa agama mereka telah dilecehkan dengan perjanjian ini. Bukan saja mereka gagal berhaji tahun ini tetapi juga harus menerima bahwa orang musyrik itu seolah merendahkan Allah dan rasulnya Rasulullah.
Kemudian terjadilah sebuah peristiwa yang membuat para sahabat semakin tidak menyukai perjanjian ini.
Kisah Abu Jandal
Belum lagi kering tinta perjanjian itu, tiba-tiba muncul Abu Jandal. Pemuda itu adalah anak Suhail bin Amr si perunding Quraisy. Para sahabat sangat terkejut menyaksikan kedua kaki Abu Jandal dalam keadaan terbelenggu sehingga ia berjalan tertatih-tatih.
Rupanya ia berhasil melepaskan diri dari Mekah dan hendak menggabungkan diri dengan saudara-saudara muslimnya.
Namun begitu melihat anaknya itu, Suhail berseru:
“Ini adalah orang pertama yang ku tuntut Agar engkau mengembalikannya.”
“Kami tidak melanggar isi perjanjian ini sampai kapan pun,” jawab Rasulullah.
“Demi Allah kalau begitu aku tidak akan menuntutmu karena sesuatu apa pun” kata Suhail.
Rasulullah bersabda, “Kalau begitu, berilah dia jaminan perlindungan karena aku.”
“Aku tidak akan memberinya jaminan perlindungan karena dirimu,” tukas Suhail.
“Lakukanlah!” pinta Rasulullah lagi
“Aku tidak akan melakukannya,” jawab Suhail.
Suhail melangkah cepat ke arah Abu Jandal dan memukul keras-keras anaknya itu. Suhail mencengkeram kerah baju Abu Jandal dan menyeretnya untuk dikembalikan kepada Quraisy. Abu Jandal berseru,
“Semua orang muslim, Apakah aku akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksaku karena Agamaku ini?”
Kaum Muslimin merasa geram. Hampir-hampir saja kaki mereka bergerak untuk datang melawan perjanjian yang sudah ditandatangani.
Rasulullah bersabda:
“Wahai Abu Jandal bersabarlah dan tabahlah karena Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang yang terdzalimi seperti dirimu. Kami sudah mengukuhkan perjanjian dengan mereka. Kami telah membuat perjanjian persetujuan dengan mereka atas peristiwa seperti ini dan mereka pun sudah memberikan sumpah atas nama Allah kepada kami. Maka kami tidak akan melanggarnya.”
Rasulullah melihat ke sekeliling dan menangkap wajah pengikutnya yang tampak sangat tidak puas. Hal inilah yang membuat para sahabat tidak menuruti perintah Rasulullah sesaat setelah itu.
Editor : Hadi Widodo
Artikel Terkait