Saat pandemi lalu, sekolah mulai "dipaksa" melaksanakan pembelajaran online.Memang banyak sekali masalah yang muncul karena kurang siapnya sekolah atau kampus saat diberlakukan kebijakan pembelajaran daring (dalam jaringan) gegara ada social distancing.Namun lamban laun, ke depan itu akan jadi kebutuhan kalau tidak bisa dikatakan tuntutan masyarakat/market.
Teknologi juga akan terus berkembang cepat bahkan seringkali melebihi dari yang kita pikirkan. Marx Zuckerberg , pemilik Facebook beberapa waktu lalu sudah melaunching metaverse yang digadang gadang akan menjadi pusat kegiatan manusia pada era mendatang. Melalui rekayasa visual didukung oleh internet supercepat dan artifical intelegence , metaverse akan bisa melayani manusia untuk melakukan berbagai kegiatan seolah-olah kita ada di lokasi tanpa harus beranjak sedikitpun dari posisi kita.
Jika itu benar terjadi dan kegiatan belajar mengajar bisa dilakukan via metaverse maka akan banyak sekali efesiensi yang dilakukan. Gedung sekolah dan infrastruktur lain yang selama ini menelan biaya tidak sedikit bisa jadi tak akan lagi dibutuhkan.
Namun di sisi lain, tatap muka atau berinteraksi secara langsung bukan hanya untuk keperluan transfer knowledge semata namun juga ada transfer karakter dari mulai kedisiplinan, komitmen mematuhi aturan, berinteraksi sesama siswa atau siswa dan guru, hingga transformasi moral.
Pendidikan karakter seperti itu yang belum terpikirkan akan bisa digantikan oleh aplikasi. Dua tahun pandemi, para guru dan orangtua sudah merasakan ketika anak anaknya melakukan pembelajaran di rumah. Begitu sulitnya mengajarkan disiplin, keteraturan, kehidupan sosial, komitmen, kerja keras, dibandingkan ketika mereka belajar di sekolah.
Pihak Sekolah kesulitan memberikan penilaian yang komprehensif karena banyak rencana pembelajaran yang akhirya tak bisa ditransformasikan kepada siswa selain mindset pembelajaran juga masih lekat dengan aktivitas tatap muka. Pihak sekolah terutama guru juga kehilangan tanggungjawab moralnya sebagai pendidik yang berkewajiban mentransformasi nilai-nilai moral dan etika selama ini dilekatkan dalam status sosial seorang guru.
Dalam ranah sosiologi, lembaga pendidikan seperti sekolah bukanlah hanya sebatas instrumen yang bisa begitu saja digantikan atau didisrupsi dengan aplikasi. John Lewis Gillin dan John Philip Gillin dalam karyanya berjudul Cultural Sociology: A Revision of An Introduction to Sociology memaparkan bahwa dalam pelembagaan sosial ada beberapa karakter yang dipahami dan disepakati masyarakat yaitu simbol, tata tertib dan tradisi, kekebalan (tak bisa dibangun atau dihilangakn seketika), jangka waktu panjang, ideologi, dan instrumen. Jadi sekolah secara sosiologis termasuk menurut amanat konstitusi, bukan hanya sekedar Produsen Ijazah atau pengetahuan semata, namun lembaga pengawal moral, pendidik generasi yang akan membawa bangsanya ke depan menjadi bangsa yang lebih berbudi dan beradab.
Maka ketika sekolah benar-benar terdisrupsi oleh aplikasi atau Metaverse dengan logika disrupsi yang selama ini kita lihat, maka akan terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem pelembagaan dan nilai-nilai di masyarakat di masa depan. Banyak nilai-nilai atau pranata yang selama ini diyakini menjadi basis moral atau karakter sekolah ikut tenggelam oleh gelombang disrupsi!
Editor : Muhammad Burhan