“Di dalam teks-teks inilah kita bisa menjumpai data leksikografis yang dapat memberi pengertian kata batik itu dari kata apa. Ketika saya melanjutkan penelusuran saya, saya menemukan batik itu dari kata ṭika (gambar/lukisan). Jadi, apa yang dilukis disebut dengan nama ṭika,” tutur Manu.
Kata ṭika merupakan kosakata asli Jawa. Namun, dalam perkembangannya, kata ini juga diadaptasi oleh bahasa-bahasa di India, baik itu Gujarati, Marathi, Bengali, Kashmiri, Nepali, maupun Sanskerta, dan lain-lain. Meski begitu, makna kata ṭika dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa-bahasa lain di India tidak jauh berbeda, yaitu lukisan atau gambar. Kata ṭika terdapat pula dalam naskah Jawa Kuna, Kakawin Smaradahana.
Kata ṭika dalam salah satu penggalan teks Kakawin Smaradahana disebutkan sebagai bahan yang digunakan untuk menggambar sebelum digoreskan pada karas. “Jadi, ketika sang kawi mengembara, itu juga selalu membawa ṭika. Karena tika ini bisa dijumpai di hutan. Tinggal memetik saja dan digoreskan. Kemudian baru setelah hasilnya ada, baru ditulis lagi di karas. Karas itu alat tulis berasal dari lempengan batu,” terang Manu.
Dalam keterangan lain, Romo Manu menyebutkan, kata ṭika (dalam Kakawin Smaradahana) juga semakna dengan pudhak (bunga pandan). Pudhak/bunga pandan, dalam tradisi Jawa Kuna digunakan sebagai bahan untuk menggambar atau menulis. Sebelum digunakan untuk menggambar atau menulis, kelopak bunga ini dikeringkan dan dihaluskan agar lurus dan dapat digunakan.
Editor : Ribut Achwandi